Jakarta – FusilatNews – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap data mengejutkan soal lonjakan aktivitas judi online (judol) di Indonesia. Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan jumlah pemain judol terbanyak, sementara DKI Jakarta menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
“Jumlah transaksi terkait judi online di Jawa Barat mencapai lebih dari 500 ribu entitas individu. Jakarta menyusul dengan peningkatan signifikan, terutama dari kelompok usia produktif,” kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 8 Mei 2025.
Menurut Ivan, karakteristik pemain judol kini semakin mengkhawatirkan. Selain didominasi usia muda—antara 17 hingga 35 tahun—PPATK juga mencatat adanya transaksi dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga.
“Ini bukan lagi soal ekonomi bawah. Banyak pelaku berpenghasilan tetap, bahkan ada ASN dan pegawai BUMN,” ujar Ivan.
Data PPATK menunjukkan total transaksi judi online sepanjang 2024 menembus angka Rp327 triliun, meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Jawa Barat menyumbang sekitar 20 persen transaksi, diikuti Jakarta sebesar 13 persen.
Lonjakan ini juga didorong oleh makin massifnya promosi situs-situs judol lewat media sosial dan platform digital. Sejumlah influencer bahkan terindikasi menerima bayaran untuk mempromosikan situs-situs ilegal tersebut.
Respons Pemerintah Terbelah
Pemerintah pusat sejauh ini masih bergelut dengan koordinasi penindakan yang tumpang tindih. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim telah memblokir lebih dari 800 ribu situs judol dalam dua tahun terakhir. Namun, setiap situs yang diblokir segera digantikan situs baru.
“Kami ibarat bermain kucing-kucingan,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.
Di sisi lain, Mabes Polri mengklaim telah menangkap lebih dari 2.000 pelaku dan operator judi online, termasuk server-server yang berbasis di luar negeri. Namun, hingga kini belum ada tindakan menyeluruh yang mampu menekan penyebaran sistematis jaringan judol lintas negara ini.
Solusi Terpadu atau Gimik?
Sejumlah pengamat menilai pemerintah cenderung reaktif ketimbang preventif. “Kebijakan kita tambal sulam. Pemblokiran situs tanpa literasi digital hanya akan jadi gimik belaka,” kata Egi Primayogha, peneliti dari ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).
Egi menyarankan pemerintah segera membentuk task force nasional lintas lembaga dengan otoritas penuh untuk menangani akar permasalahan. Termasuk mengevaluasi regulasi transaksi digital, perbankan, serta pengawasan promosi daring.
Sementara itu, di lapangan, efek candu judol mulai merambah ranah sosial. Kasus bunuh diri akibat terlilit utang judi meningkat, termasuk pembobolan rekening keluarga oleh anak-anak muda untuk membeli chip.
“Ini darurat nasional,” ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Ia mendesak Presiden Jokowi segera mengeluarkan Peraturan Presiden untuk mempercepat penanganan judol yang dinilai telah menjadi epidemi sosial.