“Nah siapa yang disalahkan itu nanti,” sambung Ma’ruf.
Jakarta – Fusilatnews – Dalam acara pembukaan Halaqah Pondok Pesantren (Ponpes) se-Jawa Timur (Jatim) di Pondok Pesantren Salaf Al Quran (PPSQ) Asy-Syadzili 1, Malang, Jawa Timur,
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan saat ini belum ada pihak yang dianggap paling bertanggung jawab terkait peretasan terhadap Pusat Data Nasional (PDN)
Wakil Presiden Ma’ruf Amien menegaskan pemerintah masih berupaya memulihkan situasi PDN Sementara.
“Tetapi bahwa persoalan ini kita harus dalami, pertama kita pulihkan dulu kan situasinya, baru kita cari sebabnya,” kata Ma’ruf Amin dikutip dari Youtube Wakil Presiden RI, Ahad (30/6/2024).
“Nah siapa yang disalahkan itu nanti,” sambung Ma’ruf.
Wapres juga menanggapi adanya tuntutan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi yang dianggap bertanggungjawab terkait peretasan PDN. Sementara. dicopot
Ma’ruf menegaskan kewenangan penggantian menteri ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Karena itu kita saya kira kalau urusan ganti mengganti itu urusan hak prerogatif presiden lah,” ujar Ma’ruf.
Sebelumnya rapat mengenai penyerangan PDN ini digelar oleh Komisi I DPR pada Selasa (27/6/2024). Komisi I DPR RI menuntut penjelasan kepada Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga PT Telkom terkait PDN yang diretas ini
Terkait peretasan sistem pusat data nasional (PDN) sementara di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, berlangsung seru.Saling lempar tanggungjawab dan saling menyalahkan dan Anggota Komisi I meradang karena terjadi saling melempar ‘bola panas Anggota DPR yang hadir tak bisa menahan emosinya melihat ketidakbecusan pemerintah.
Di awal rapat, aroma pelemparan ‘bola panas’ sudah tercium. Kepala BSSN Letjen (Purn) Hinsa Siburian melempar ‘bola panas’ ke Kominfo ketika Komisi I DPR kebingungan kenapa bisa tidak ada back up data di PDN sementara Surabaya.
“Kenapa tidak ada (backup)?” tanya anggota Komisi I DPR Fraksi PDI-P Mayjen (Purn) TB Hasanuddin. “Mungkin nanti dari Kominfo yang bisa menjelaskan, Pak,” kata Hinsa.
“Itu yang banyak dipertanyakan oleh pakar IT, Pak, kenapa tidak ada?” tukas TB Hasanuddi
“Baik, mungkin ranahnya Pak Kominfo yang akan menjawab,” ucap Hinsa. Beberapa jam kemudian, emosi TB Hasanuddin memuncak.
Dirinya geram pihak BSSN, Kominfo, dan Telkom saling melempar tanggung jawab, dan jawaban yang diberikan pun selalu berbeda.
Dia meminta kepada pemerintah untuk mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan, sehingga berujung kehilangan data berharga.
“Kita diskusi bukan saya, kami ini dengan Kominfo, dengan Pak Dirjen, dengan Telkom. Tidak. Ini satu kesatuan NKRI, di sini ada menteri, di sini ada Kepala BSSN. Jadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Jadi kalau misalnya back up disediakan fasilitasnya cukup, mengapa tidak dipakai, siapa yang harus mengorganisirnya. Siapa?
Terus jangan bilang, ‘oh ini mestinya tenant-tenant ini’, enggak bisa ini negara. Saudara harus tanggung jawab,” tukas TB Hasanuddin. “Benar, Pak, memangnya harusnya kami…
Makanya kami akan mengubah aturannya untuk memastikan,” kata Dirjen Aptika Kominfo Semuel Pangerapan.
“Nah itu akui saja kalau memang salah!” kata TB Hasanuddin.
“Oh iya tadi kami sudah mengakui tadi disampaikan Pak Menteri,” ucap Semuel.
“Jangan muter melempar ke sana, lempar ke sini!” seru TB Hasanuddin.
“Tidak, Pak,” kata Semuel. Menkominfo ungkit negara lain juga kena ransomware Menkominfo Budi Arie menyampaikan bahwa tidak ada negara di dunia yang tidak terkena virus atau serangan ransomware, seperti yang dialami PDN milik Indonesia pada beberapa waktu terakhir.
“Kita bisa lihat, ini ransomware, tidak ada di seluruh dunia yang tidak terkena serangan Ransomware,” ujar Budi.
Budi membeberkan beberapa negara besar dan maju yang juga mengalami serangan ransomware, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, dan Kanada.
Indonesia terkena dampak sekitar 0,67 persen dari serangan ransomware, dibandingkan dengan Amerika Serikat (40,34 persen) atau Kanada (6,75 persen).
Budi Arie menyebutkan, serangan ransomware menjadi jelas menjadi perhatian seluruh dunia karena melanda banyak negara.
“Dan ransomware yang menyerang Indonesia ini adalah versi terakhir. Sehingga jadi perhatian seluruh dunia terhadap ransomware ini,” kata dia.
Diminta jantan dengan berani tanggung jawab TB Hasanuddin kembali menyita perhatian ketika dirinya meminta para pejabat BSSN, Kominfo, dan Telkom untuk bertanggung jawab atas peretasan PDN yang membuat layanan publik lumpuh.
Pemerintah diminta kompak, tapi malah salah-salahan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid meminta pemerintah, khususnya Kominfo, BSSN, dan Telkom untuk kompak dalam menyelesaikan masalah peretasan PDN.
Sebab, kata dia, yang sedang pemerintah hadapi saat ini adalah krisis, di mana layanan publik terganggu buntut penyerangan PDN. Apalagi, data berharga yang pemerintah pegang harus hilang begitu saja.
“Singkat saja, Pak, yang paling penting kan kekompakan. Ini kan krisis, Pak, ya, di konpers pertama, ada Pak Kepala BSSN, Pak Menkominfo, langsung rapat. Di yang kedua hanya Kepala BSSN, di yang ketiga Telkom saja mewakili pemerintah. Artinya yang ketiga hanya Telkom, saya enggak apa-apa, apakah teknis tetap kompak?” tanya Meutya. “Tetap kompak,” jawab Budi Arie.
“Semuanya satu, tidak ada saling menyalahkan,” kata Meutya. “Enggak, enggak ada,” ucap Budi Arie.
“Karena ini sebuah krisis besar, jadi kalau ada itu, kita hilangkan dulu nih sebelum kita lakukan pendalaman,” kata Meutya.
Namun, pada kenyataannya, Meutya menilai pemerintah malah saling menyalahkan antar satu sama lain dalam rapat.
Politikus Golkar itu menyebut Kominfo kerap menyalahkan kementerian/lembaga (K/L) lain yang tidak mau mem-back up data ke PDN.
“Jadi tolong di sini kita enggak mau dengar pemerintah menyalahkan. Dan mohon maaf dari Kominfo tadi awalnya ini agak seolah bahwa, ‘ini K/L, K/L lain enggak mau backup gitu’. Ada seolah-olah itu yang kita tangkap tadi gitu,” kata Meutya.
Menurut Meutya, jika pemerintah saja tidak kompak dalam menangani krisis, maka persoalan akan semakin tidak beres. Meutya geram dengan pemerintah yang sibuk salah-salahan, sementara musuhnya adalah teknologi yang sulit
“Saya sekali lagi akan sampaikan poin ketika membuka rapat ini, bapak-bapak. Kompak atau tidak sebagai pemerintah?
Kalau sudah enggak kompak, enggak beres! ini teknologi sudah lawannya sulit, pemerintah saling salah-salahan,” tutur Meutya.
“Jadi tolong ini selesai di sini. Habis ini enggak boleh lagi ada yang, ‘ini karena ini, ini karena ini’. Begitu ya,” sambungnya.
DPR sentil pemerintah bodoh Meutya turut menyentil pemerintah bahwa persoalan dari tidak adanya back up data PDN yang diretas bukanlah masalah tata kelola, melainkan kebodohan.
Kepala BSSN, Hinsa Siburian mulanya menyebut mereka memiliki masalah dalam tata kelola. “Kita ada kekurangan di tata kelola. Kita memang akui itu. Dan itu yang kita laporkan juga, karena kita diminta apa saja masalah kok bisa terjadi, itu salah satu yang kita laporkan,” ujar Hinsa.
Minta Pertanggungjawaban Lumpuhnya PDN, Komisi I Panggil Menkominfo dan Kepala BSSN
Mendengar pengakuan Hinsa, Meutya menegaskan persoalan peretasan PDN bukanlah masalah tata kelola. Dia menyebut pemerintah melakukan kebodohan dengan tidak mem-back up data PDN.
“Kalau enggak ada backup, itu bukan tata kelola sih, Pak, kalau alasannya ini kan kita enggak hitung Surabaya, Batam backup kan, karena cuma 2 persen, berarti itu bukan tata kelola, itu kebodohan saja sih, Pak,” tukas Meutya. “Iya,” ucap Hinsa.
“Punya data nasional dipadukan seluruh kementerian harusnya, untung katanya ada beberapa kementerian belum comply, belum gabung. Masih untung orang Indonesia,” kata Meutya.
Meutya menyebut Imigrasi lah yang paling patuh menyetor data ke PDN, sehingga mereka yang paling tidak selamat dalam kasus peretasan ini.
Dia kembali mengulang bahwa masalah dalam peretasan PDN ini bukan tata kelola, melainkan kebodohan pemerintah.
“Yang paling patuh Imigrasi saya dengar. Itu yang paling enggak selamat. Intinya jangan bilang lagi tata kelola, Pak. Karena ini bukan masalah tata kelola, ini masalah kebodohan.
Punya data nasional tidak ada satupun backup berarti kan?” imbuh Meutya.