Presiden Tiongkok, Xi Jinping, belakangan ini tampak cemas menghadapi berbagai ancaman yang mengancam stabilitas ekonomi negaranya. Ia sering mengkhawatirkan munculnya “angsa hitam” (krisis tak terduga) dan “badak abu-abu” (masalah besar yang diabaikan), tetapi kini ia dihadapkan pada kekhawatiran baru: hilangnya “unicorn.” Unicorn, yang merujuk pada perusahaan rintisan dengan valuasi mencapai miliaran dolar, semakin langka di Tiongkok. Dalam pertemuan dengan para pengusaha pada Mei lalu, Xi meminta mereka menjelaskan mengapa semakin sedikit startup Tiongkok yang mencapai status unicorn. Sementara itu, pada Juni, Dewan Negara mengakui bahwa para investor enggan berinvestasi di sektor startup yang berisiko, di tengah sulitnya mendapat imbal hasil yang diharapkan.
Kekhawatiran Xi Jinping ini menunjukkan adanya ketidakpuasan pada sektor wirausaha yang selama ini menjadi salah satu pilar ekonomi Tiongkok. Namun, upaya Xi untuk menenangkan kekhawatiran tersebut belum memberikan dampak yang diharapkan. Para pengusaha Tiongkok yang telah lama merasa terpinggirkan akibat regulasi ketat dan kontrol yang meningkat membutuhkan lebih dari sekadar retorika manis agar mereka mau kembali berinvestasi di tanah air. Pasalnya, kebijakan Xi Jinping yang cenderung mengutamakan stabilitas negara melalui kontrol ketat justru telah memudarkan kepercayaan pengusaha terhadap lingkungan bisnis yang ada.
Memudarnya Unicorn dan Kekhawatiran Xi
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah unicorn di Tiongkok mengalami penurunan signifikan. Hal ini menjadi masalah besar bagi Xi Jinping, mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat bergantung pada sektor teknologi dan inovasi, yang sering kali didorong oleh perusahaan rintisan. Namun, berkat kebijakan yang semakin menghambat ekspansi bisnis, serta ketidakpastian regulasi yang menghantui perusahaan teknologi, minat investor untuk menanamkan modal di startup Tiongkok pun mulai surut. Banyak investor kini melihat Tiongkok sebagai tempat berbisnis yang terlalu berisiko, dengan berbagai aturan ketat yang membuat mereka sulit untuk menarik keuntungan dari investasi mereka.
Bagi Xi, hilangnya unicorn berarti Tiongkok kehilangan salah satu motor utama pertumbuhan ekonominya. Unicorn yang dulu menjadi simbol inovasi kini terasa seperti ilusi yang memudar, meninggalkan kekosongan dalam ekosistem bisnis Tiongkok. Situasi ini menjadi paradoks yang mengancam: di satu sisi, pemerintah membutuhkan pengusaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, kebijakan pemerintah sendiri justru menciptakan ketakutan dan ketidakpastian bagi mereka.
Upaya “Love-Bombing” dari Xi Jinping
Dalam upaya untuk memulihkan hubungan dengan para pengusaha, Xi Jinping dan pemerintahannya telah melancarkan kampanye “love-bombing,” yang berupa serangkaian pesan, kebijakan, dan pertemuan yang bertujuan untuk menarik kembali kepercayaan pengusaha. Namun, kampanye ini sering kali terbentur dengan realitas kebijakan yang tidak ramah bagi bisnis. Xi sendiri kerap mengajak pengusaha untuk terus berinovasi dan berkontribusi bagi negara, namun di sisi lain, tekanan regulasi terus meningkat, terutama pada sektor teknologi dan perusahaan besar yang dianggap dapat mengganggu stabilitas.
Meskipun pemerintah terus meyakinkan bahwa Tiongkok tetap berkomitmen pada pertumbuhan ekonomi dan inovasi, sentimen negatif di kalangan pengusaha tetap tinggi. Bagi banyak dari mereka, kampanye ini hanyalah bentuk retorika yang tidak disertai dengan perubahan kebijakan yang berarti. Di sisi lain, pengusaha yang menjadi sasaran kampanye “love-bombing” ini tahu bahwa tekanan dan kontrol tidak akan hilang begitu saja. Mereka menuntut komitmen lebih nyata, yang meliputi reformasi yang konsisten dan dukungan yang substansial terhadap lingkungan bisnis yang lebih stabil dan bebas dari kontrol berlebihan.
Antara Kepercayaan yang Runtuh dan Tantangan Memulihkan Unicorn
Bagi sebagian besar pengusaha Tiongkok, hubungan mereka dengan pemerintah tidak lagi seperti dulu. Di masa lalu, banyak dari mereka merasa menjadi bagian dari visi besar Tiongkok untuk menjadi kekuatan ekonomi global. Namun, dengan peningkatan regulasi dan intervensi pemerintah, kepercayaan ini perlahan terkikis. Pengusaha yang dulu berani mengambil risiko tinggi kini lebih memilih berinvestasi di luar negeri atau bahkan memindahkan bisnis mereka ke negara-negara yang lebih ramah bagi startup, seperti Amerika Serikat atau Singapura. Mereka juga menyadari bahwa keuntungan besar yang dijanjikan di Tiongkok tidak lagi sebanding dengan risiko yang harus mereka hadapi.
Situasi ini memberi dampak besar terhadap ekosistem startup di Tiongkok, yang kini tidak lagi seproduktif atau semenarik beberapa tahun lalu. Banyak startup yang menghadapi kesulitan finansial karena kekurangan dukungan dari investor. Akibatnya, semakin sedikit startup yang mampu tumbuh menjadi unicorn, yang tentu saja berlawanan dengan harapan Xi Jinping. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk “mencintai” kembali para pengusaha bukanlah tugas yang mudah dan membutuhkan perubahan mendasar dalam pendekatan pemerintah terhadap bisnis.
Mengapa Tiongkok Membutuhkan Perubahan Pendekatan
Bagi Xi Jinping, krisis kepercayaan ini menjadi tantangan besar dalam mempertahankan stabilitas ekonomi dan reputasi global Tiongkok sebagai pusat inovasi. Pemerintah Tiongkok perlu memahami bahwa kepercayaan yang hilang tidak bisa dipulihkan hanya melalui kata-kata manis. Dibutuhkan reformasi yang jelas dan komitmen untuk menjaga kebebasan berbisnis agar para pengusaha merasa aman untuk kembali menanamkan modal mereka di Tiongkok.
Jika tidak, Tiongkok akan kehilangan daya saingnya sebagai pusat inovasi dunia. Investor internasional maupun domestik akan semakin enggan untuk mendukung proyek-proyek di Tiongkok, yang pada akhirnya bisa merugikan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Pemerintah Tiongkok harus mengatasi kekhawatiran pengusaha dengan cara yang lebih dari sekadar kampanye “love-bombing.” Reformasi yang nyata dan jaminan kebijakan yang konsisten diperlukan untuk memastikan bahwa Tiongkok tetap menjadi tempat yang menarik bagi inovasi dan pertumbuhan bisnis.
Kesimpulan
Xi Jinping mungkin berharap bahwa dengan menunjukkan cinta pada para pengusaha, Tiongkok bisa kembali menjadi sarang unicorn dan inovasi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak akan cukup untuk mengubah situasi. Ketidakpastian kebijakan dan regulasi yang menghambat kreativitas pengusaha telah menciptakan tantangan besar bagi Tiongkok. Kampanye “love-bombing” hanya akan efektif jika disertai dengan reformasi yang nyata dan konsisten, yang menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar mendukung iklim bisnis yang sehat dan terbuka. Hanya dengan cara ini, Tiongkok dapat mengembalikan kepercayaan para pengusaha dan memulihkan statusnya sebagai pusat inovasi dunia.
Sumber : The Economist