Pada momen menyatukan tanah dan air dari seluruh Indonesia di kendi nusantara, berjuta doa dikumandangkan agar Ibu Kota Nusantara membuka pintu solusi dari beragam masalah. Masyarakat, terutama di sekitar IKN, berdoa lebih khusyuk agar mereka tak tersingkir lagi.
Senin (14/3/2022), Presiden RI Joko Widodo, sejumlah menteri, dan 34 gubernur juga perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia hadir di IKN di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Masing-masing membawa tanah dan air dari daerahnya. Gubernur dari Kalimantan berkemah bersama Presiden. Kedatangan mereka disambut meriah.
Jumiran (74) pagi-pagi benar mengenakan batik terbaiknya karena memang hanya satu. Ia ingin sekali masuk melihat kawasan titik nol ibu kota negara (IKN) Nusantara. Sejak 1984 tinggal di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, ia belum pernah masuk hingga kawasan titik nol sejak perusahaan hutan tanaman industri beroperasi di sana.
Mengenakan topi, ia berjalan sendirian. Lima anaknya sedang bekerja serabutan. Istrinya tak bisa lagi berjalan jauh. Ia berencana berjalan kaki sejauh lima kilometer untuk menuju gerbang IKN tetapi urung niat, lantaran rematiknya kambuh. Akhirnya, ia bergabung dengan murid-murid dari SD Negeri Sepaku 020 di Desa Bumi Harapan, sekitar lima kilometer dari gerbang IKN.
Jumiran sudah siap untuk menonton rombongan Presiden dan gubernur juga perwakilan dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. “Seumur-umur bisa lihat Presiden ya karena ibu kota mau dipindah ke sini, sekarang datang dengan semua gubernur. Kan ndak pernah sebelumnya kayak gini,” ungkap Jumiran, Senin (14/3/2022).
Jumiran yang tadinya duduk menyender di tembok tetangganya tetiba bangun saat bunyi sirine terdengar dari kejauhan.Rombongan tiba, Jumiran membalas lambaian tangan Presiden, lalu rombongan berlalu, Jumiran pun pulang dan mengganti batiknya dengan kaos.
Ia bercerita, saat pindah ke Sepaku, semua wilayah itu masih hutan belantara. Ia yang saat pindah membawa serta istri dan empat anaknya hampir putus asa karena terus gagal menanam padi. Jatah beras dari pemerintah saat itu menyelamat mereka. Perlahan tapi pasti hutan berubah menjadi ladang padi.
Jumiran meninggalkan kampung halamannya di Nganjuk, Jawa Timur untuk mencari kehidupan baru di Kalimantan Timur. Bahkan, ia tak mampu mengingat kapan terakhir kali pulang ke kampungnya.
Di depan pintu masuk IKN Nusantara, Sunardi (42) bercerita, ia tak menyesal bertransmigrasi ke Sepaku. Tempat baru itu sudah ia nikmati hasilnya, membangun rumah dan menyekolahkan anaknya dari menanam sawit. Kendati menyambut gembira rencana pemindahan IKN, ada sedikit kekhawatiran yang ia utarakan.
“Takutnya, nanti tanah kami harus dilepas untuk IKN. Kalau saya, teguh ndak mau. Saya ingin juga merasakan ramainya IKN, bisa buat kontrakan atau usaha apa begitu. Tanah ini perjuangan saya,” ujar transmigran dari Jawa Tengah itu.
Tanah dan Air
Secara simbolis, pemerintah menyongsong pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara dan sekitarnya. Seremoni yang mengundang haru juga semangat itu ditandai dengan menyatunya sampel tanah dan air dari 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Presiden Joko Widodo yang memulai budaya baru ini di momen awal pembangunan ibu kota negara yang baru. Hal yang belum pernah dilakukan dalam banyak seremoni kenegaraan.
“Hari ini kita hadir bersama-sama di sini dalam rangka sebuah cita-cita besar dan pekerjaan besar yang akan segera dimulai yaitu pembangunan Ibu Kota Nusantara,” ungkap Jokowi.
Sampel tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam satu kendi atau bejana Nusantara yang sudah disiapkan tepat di titik nol IKN. Satu per satu pejabat memberikan sampel tanah dan membungkusnya dengan beragam bejana yang mencitrakan kearifan lokal dari daerah masing-masing. Ada bejana yang berlapis emas, ada yang menggunakan daun kelapa, ada pula anyaman rotan, dan beragam lainnya. Indah dan gagah.
Sekitar delapan kilometer dari titik nol, Saryadi (71) yang sudah tinggal di Sepaku sejak tahun 1980 mengungkapkan kekhawatirannya. Rumah dan kebunnya terancam akan dipindah karena sudah dipasangi plang yang tertulis kawasan inti pusat pemerintah “jangan dirusak” begitu tertulis. Ia pun tak paham artinya.
“Saya senang sekali ibu kota bisa pindah ke sini, seperti mimpi rasanya. Tetapi makin ke sini kok ya jadi khawatir, semoga saya gak dipindah,” kata Saryadi yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Selain khawatir tanahnya digarap, lanjut Saryadi, selama ini masyarakat di Sepaku kekurangan air bersih. Saryadi mengeluarkan uang Rp 20.000 setiap hari untuk membeli air minum bersih. “Air sumur sih ada, tapi ndak bisa diminum, rasanya asam sekali, jadi buat mandi saja,” ungkapnya.
Serupa dengan Saryadi, Radimin (63) hanya bisa menonton presiden masuk ke Titik Nol IKN dengan mobil berplat merah bertuliskan “Indonesia”. Warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku itu berharap, pembangunan IKN kelak memberi dampak positif bagi kehidupan warga lokal. Sejak menjadi warga transmigran sejak 1970-an, ia dan keluarganya hanya menampung air hujan untuk mandi, cuci, kakus.
Radimin berharap persoalan air itu bisa selesai dengan adanya IKN. “Kalau ndak ada hujan, ya beli air Rp 60.000 per tandon untuk mandi dan nyuci. Sebulan, bisa habis Rp 240.000 untuk beli air. Semoga air buat IKN juga ngalir ke kami,” katanya.
Alfian (33), keturunan Dayak Paser Balik, sudah merasakan banyak hal terkait tanah, tempat hidupnya. Warga Kecamatan Sepaku itu tinggal di perbatasan perusahaan kayu. Perlahan, kebiasaan mengolah tanah bergeser akibat masuknya perusahaan.
”Sejak 2009, orang di kampung sudah tidak menanam padi gunung lagi. Kami dulu masih (menerapkan) sistem ladang berpindah. Untuk membuka lahan baru, harus membakar lahan skala kecil. Perusahaan kayu melarang kami membakar,” ujar Alfian, Jumat (28/5/2021) pagi.
Ia bercerita, sejumlah warga ditangkap oleh bagian keamanan perusahaan karena membuka lahan dengan membakar. Padahal, sesuai dengan tradisi Paser Balik, membakar lahan tak bisa dilakukan sembarangan. Membakar lahan tak boleh luas dan dibatasi. Itu tak pernah menimbulkan kebakaran.
Antropolog Dayak dari Universitas Mulawarman yang juga tokoh masyarakat Dayak di Kaltim, Simon Devung, mengungkapkan, menyatukan tanah dan air ke tempat baru merupakan kebiasaan orang Dayak. Ia memberi contoh, Dayak Basua yang jika berpindah tempat akan mengambil air dari tempat awal untuk dituangkan ke sungai di tempat baru agar menjadi satu. Begitu juga tanah.
Hidup berpindah, lanjut Simon, sudah sering dilakukan masyarakat Dayak dan warga lokal lainnya di Indonesia. Seperti Dayak Paser Balik, penduduk asli Kota Balikpapan, yang kerap berpindah karena mengikuti sumber kehidupannya, yakni tanah/ladang dan air.
Faktor lainnya adalah gangguan. Masyarakat Dayak tidak bisa bertahan lama di Balikpapan karena memang tidak bisa sesuai dengan cara hidup orang pesisir. Mereka kemudian menjauh dari pesisir Balikpapan. Kedatangan transmigran juga menjadi alasan mereka berpindah.
Simon mengungkapkan, konsekuensi memindahkan warga lokal ke tempat baru hampir tidak bisa dihindari dalam perpindahan IKN. Saat ini yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan menyiapkan warga lokal atas segala perubahan yang akan mereka alami nanti. Jika tidak mereka akan tersingkir dan kalah dengan perkembangan kota.
“IKN yang disebut kota hutan pun belum tentu orang Dayak bisa berburu di sana, padahal itu kebiasaannya, jadi perlu disiapkan, solusinya tak bisa satu harus banyak,” ungkap Simon.
Warga lokal di sekitar IKN, baik transmigran maupun masyarakat Dayak tak mau kalah dan tersisih lagi, sembari berdoa IKN benar-benar membawa kesejahteraan. Bukan menghadirkan masalah baru yang pelik.
Sumber : Kompas.id