*FusilatNews* -Di balik jubah dan peci, di balik panggung ceramah dan lantunan ayat-ayat suci, kadang tersembunyi realitas yang tidak seindah kata-kata. Yusuf Mansur, sosok yang pernah dielu-elukan sebagai ustadz muda penuh karisma, hari ini justru menjadi contoh gamblang tentang bagaimana ketidaksesuaian antara penampilan dan perilaku bisa berujung pada pembatalan sosial—cancel culture versi umat.
Fenomena Yusuf Mansur bukan sekadar soal kontroversi pribadi, tetapi juga cerminan dari krisis otoritas moral dalam tubuh keulamaan populis. Julukan “ustadz” yang disandangnya seolah menjadi alat legitimasi untuk mengumpulkan dana, menjual mimpi, dan mengajak orang percaya pada narasi sukses spiritual lewat sedekah. Namun, narasi-narasi itu, yang dikemas dengan kisah inspiratif dan dramatis, belakangan terbukti banyak yang tak lebih dari cerita rekaan—atau dengan kata lain, kebohongan.
Ia bercerita pernah membeli hotel, membangun universitas, berinvestasi emas dan properti yang menguntungkan jamaah. Tapi kenyataannya? Banyak jamaah yang merasa ditipu. Dana umat yang dihimpun dengan semangat “investasi surga”, justru hilang tanpa kejelasan. Bahkan tak sedikit yang menggugat dan menuntut hak mereka, karena merasa menjadi korban janji manis yang tak pernah ditepati.
Yang ironis, semua itu disampaikan dengan gaya ceramah yang memikat, emosional, dan penuh dramatisasi. Yusuf Mansur membentuk panggung keagamaan sebagai panggung bisnis dan panggung personal branding. Dari ustadz, ia menjelma jadi pebisnis—bahkan disebut sebagai bos Waroeng Steak, yang ironisnya tidak sedikit yang mengaitkan bisnis itu dengan dana umat yang dikumpulkan lewat program-programnya.
Publik yang semula terpukau kini terbangun dari hipnotis spiritual itu. Kepercayaan runtuh. Otoritas runtuh. Sosok yang dulu dielu-elukan kini dicurigai. Dari panggung-panggung masjid ke pengadilan opini publik, Yusuf Mansur menjadi figur yang tidak lagi disambut dengan “aamiin”, tetapi dengan tanda tanya besar.
Apa yang salah?
Jawabannya barangkali terletak pada jurang lebar antara ucapan dan perbuatan. Antara tampil sebagai “pembawa cahaya” tapi justru memadamkan harapan umat. Masyarakat tidak butuh dai yang hanya pandai bercerita, tapi butuh pemimpin moral yang bisa dipercaya. Ketika keteladanan runtuh, maka panggilan “ustadz” tidak lagi sakral. Ia bisa menjadi topeng, bisa pula menjadi senjata makan tuan.
Dalam dunia digital hari ini, masyarakat makin cerdas. Transparansi makin kuat. Cancel culture adalah ekspresi sosial atas ketidaksesuaian itu. Bukan semata pembalasan, tapi bentuk proteksi kolektif agar agama tak terus dikomodifikasi.
Mungkin Yusuf Mansur masih punya panggung, masih punya pengikut. Tapi gelombang kekecewaan yang tak lagi terbendung menunjukkan satu hal: masyarakat sudah mencancel dia secara moral.
Dan untuk seorang “ustadz”, itu hukuman paling berat.
 
	    	 
 
		    




 




















 
