Bayangkan ini: pemimpin yang baru saja lengser, dinobatkan sebagai pemimpin terkorup nomor dua di dunia oleh lembaga internasional, justru akan dikirim untuk mewakili negara dalam peristiwa sakral penguburan Paus di Vatikan. Ini bukan naskah satir. Ini Indonesia.
Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan akan mengutus Joko Widodo sebagai special envoy ke Vatikan untuk menghadiri pemakaman Paus. Penugasan ini, jika benar terjadi, bukan hanya janggal, tapi juga mencederai akal sehat diplomasi dan nurani moral bangsa. Jokowi—yang belum genap sebulan menanggalkan jabatannya, dan belum sempat mempertanggungjawabkan pelbagai skandal yang membayangi dua periode kepemimpinannya—tiba-tiba tampil lagi sebagai wajah resmi Indonesia. Kali ini bukan di panggung kampanye, tapi di altar gereja terbesar dunia.
Dalam daftar World of Statistics 2024, Jokowi menempati peringkat kedua sebagai pemimpin paling korup di dunia. Gelar yang tak dicari, tapi melekat karena akumulasi skandal di bawah pemerintahannya: mulai dari pembajakan KPK, manipulasi hukum, proyek IKN yang sarat kepentingan oligarki, hingga nepotisme terang-terangan dalam tubuh kekuasaan. Belum lagi urusan politik dinasti yang menjalar ke anak-anaknya, seakan Indonesia adalah warisan pribadi, bukan republik konstitusional.
Lalu, mengapa sosok seperti ini justru diutus menghadiri prosesi pemakaman tokoh spiritual sedunia?
Dua Masalah Besar: Moralitas dan Kapasitas
Penunjukan Jokowi menciptakan dua ironi besar. Pertama adalah ironi moral. Vatikan bukan sekadar tempat, tapi simbol kebajikan, ketulusan, dan spirit pengabdian. Mengirim utusan negara ke sana berarti memilih sosok yang mencerminkan etika tinggi, bukan justru nama yang sedang digugat oleh sejarah. Bahkan di dunia diplomasi, pemilihan special envoy biasanya memperhitungkan moral stature dari tokoh yang dikirim—karena ia membawa nama bangsa, bukan sekadar tubuh pribadi.
Ironi kedua adalah soal kapasitas. Jokowi, sejak awal, dikenal bukan karena kecakapan diplomatiknya. Kemampuan bahasa Inggris yang minim membuat ia kerap tampak canggung di forum global. Pidato-pidato internasionalnya kaku, dibacakan tanpa ekspresi, dan miskin improvisasi. Bandingkan dengan tokoh-tokoh seperti Marty Natalegawa, Hassan Wirajuda, atau bahkan Anies Baswedan—yang bisa berdiri sejajar dengan diplomat dunia dan berbicara dalam bahasa global dengan percaya diri.
Maka publik bertanya: apa sebenarnya motif di balik pengutusan ini?
Isyarat Politik atau Kompensasi Personal?
Ada dua kemungkinan. Pertama, ini adalah manuver politik Prabowo untuk menjaga keseimbangan kekuasaan: memberi ruang simbolik pada Jokowi agar tidak merasa tersingkir, meski kursinya telah digantikan. Kedua, ini adalah upaya mempermanenkan bayang-bayang Jokowi dalam pemerintahan baru, lewat skenario diplomasi informal. Keduanya sama berbahayanya: yang satu menunjukkan ketakutan pemimpin baru terhadap pemimpin lama, yang lain menandakan bahwa Indonesia sedang dikelola dengan pola patronase keluarga.
Lebih buruk lagi, pengutusan ini mengaburkan batas antara negara dan individu. Apakah Jokowi hadir mewakili Indonesia, atau mewakili dirinya yang ingin tetap tampil di panggung global? Apakah Prabowo sedang menjalankan mandat rakyat, atau sedang membayar utang politik?
Dalam sejarah diplomasi, tak pernah ada preseden negara mengutus tokoh yang dicap korup secara global ke peristiwa spiritual sebesar ini. Jokowi boleh saja diundang sebagai tamu pribadi oleh Vatikan, namun mengangkatnya sebagai delegasi resmi negara adalah preseden keliru. Kita sedang bermain-main dengan harga diri diplomasi Indonesia.
Karena itu, penugasan ini harus dipertanyakan, bahkan ditolak. Bukan karena Jokowi pribadi, tapi karena prinsip: bahwa yang mewakili bangsa di forum global haruslah tokoh bersih, berwibawa, dan punya kompetensi. Bukan sosok yang sedang diperdebatkan masa lalu dan reputasinya.
Jika tidak, kita justru sedang mempermalukan diri kita sendiri di altar dunia.