Fusilatnews – Ada banyak cara pejabat mempermalukan dirinya sendiri. Zulkifli Hasan, alias Zulhas, memilih cara yang paling sederhana: asal bicara. Akhir-akhir ini, beberapa daerah digegerkan kasus keracunan anak-anak sekolah setelah mengonsumsi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih memberi penjelasan serius dan penuh empati, Zulhas malah menanggapi dengan kalimat absurd: “dulu saya minum susu, mencret.”
Bayangkan, puluhan anak harus dirawat karena keracunan, tapi menteri yang bertanggung jawab atas distribusi pangan justru menyamakan tragedi itu dengan pengalaman pribadinya buang-buang air. Bedakan saja tidak bisa: antara keracunan dengan diare. Yang satu adalah ancaman kesehatan massal, yang lain sekadar urusan perut pribadi. Seorang pejabat publik berbicara seolah-olah ia pakar medis, tapi hasilnya hanya memperlihatkan kebodohan telanjang di panggung nasional.
Namun, ini bukan episode pertama Zulhas tampil sebagai “simbol blunder.” Kita mundur ke tahun 2013, saat ia masih menjabat sebagai Menteri Kehutanan. Kala itu, aktor Hollywood sekaligus aktivis lingkungan, Harrison Ford, datang ke Indonesia untuk syuting dokumenter Years of Living Dangerously. Salah satu episodenya menyoroti deforestasi di Riau, khususnya kawasan Tesso Nilo yang rusak parah akibat perambahan hutan dan ekspansi sawit.
Ford mewawancarai Zulhas secara langsung. Pertanyaan-pertanyaan tajam Ford menuntut jawaban konkret: mengapa izin pembukaan lahan begitu mudah diberikan? Mengapa penegakan hukum terhadap pembalak liar begitu lemah? Zulhas bukannya memberi jawaban berbobot, malah terlihat gagap, linglung, dan terbata-bata. Ia hanya sempat mengeluarkan kalimat pendek yang tidak menjawab inti persoalan. Wawancara itu lalu viral di Amerika Serikat, bukan karena memperlihatkan kepedulian Indonesia terhadap lingkungan, tetapi karena memperlihatkan seorang pejabat tinggi yang terlihat tidak tahu apa-apa.
Alih-alih introspeksi, Zulhas justru merasa diserang. Ia bahkan sempat mengeluh ke publik bahwa Harrison Ford berlaku kasar dan hanya memberinya “satu-dua kalimat” kesempatan untuk bicara. Lebih konyol lagi, stafnya sempat mengancam akan mendeportasi Ford dengan tuduhan “mengganggu institusi negara.” Bayangkan, bukannya menggunakan momentum itu untuk menunjukkan kepemimpinan dan visi lingkungan, Zulhas justru menunjukkan wajah rapuh pejabat yang tak siap diuji.
Dari susu mencret sampai wawancara dengan Harrison Ford, pola Zulhas selalu sama: berbicara dengan percaya diri tapi tanpa isi. Ia seperti aktor dalam komedi gelap politik Indonesia—seseorang yang ditempatkan di panggung besar, tapi tak punya naskah selain kata-kata kosong.
Fenomena Zulhas ini mengingatkan kita pada penyakit kronis politik negeri ini: jabatan publik sering kali lebih ditentukan oleh kompromi kekuasaan, bukan kompetensi. Zulhas tetap bercokol di kabinet, bukan karena prestasi, melainkan karena bagian dari bagi-bagi kursi. Publik dipaksa menerima tontonan memalukan berkali-kali, seakan-akan ketololan sudah dilegalkan sebagai standar baru kepemimpinan.
Dan jangan lupa, namanya juga pernah terseret ke ruang pemeriksaan aparat penegak hukum. Ia dipanggil oleh kejaksaan terkait kasus mafia minyak goreng—sebuah ironi bagi seorang Menteri Perdagangan yang seharusnya menjamin distribusi bahan pokok, malah berada di lingkaran masalahnya.
Maka, kalau hari ini rakyat bertanya kenapa kebijakan pangan berantakan, kenapa program strategis justru melahirkan keracunan massal, jawabannya sederhana: karena kita dipimpin oleh orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan keracunan dengan mencret. Dan lebih parah lagi, orang semacam itu bukan hanya dibiarkan, tapi dipertahankan. Di titik ini, Zulhas bukan sekadar simbol ketololan—ia adalah bukti bahwa kekuasaan di negeri ini sering kali lebih akrab dengan blunder, ironi, dan kasus hukum daripada dengan kerja nyata untuk rakyat.