FusilatNews – Ada dusta yang rapi terselip di balik angka-angka. Ketika Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyebut angka pengangguran menurun, publik berhak bertanya: angka yang mana?
Di depan publik, Menaker berkukuh bahwa pengangguran di Indonesia menurun. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dan membandingkan dua titik waktu: Agustus 2024 dan Februari 2025. “Turun dari 4,91 persen ke 4,76 persen,” ujarnya mantap. Ia bahkan menegaskan, “Dilihat persentase ya. Lebih valid.”
Namun, ketika data yang sama dibaca utuh, bukan dipilih-pilih, narasi yang muncul justru berbeda. BPS mencatat bahwa jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang. Jumlah itu naik 83.450 orang dibandingkan Februari 2024. Artinya, secara tahunan (year-on-year), pengangguran justru meningkat. Kenaikan itu setara dengan 1,11 persen.
Apakah penurunan angka dari Agustus ke Februari bisa dijadikan rujukan tunggal untuk menyatakan “pengangguran turun”? Jelas tidak. Agustus dan Februari adalah dua titik berbeda dalam dinamika ketenagakerjaan. Februari, misalnya, adalah momen setelah banyak kelulusan sekolah dan kampus. Angkatan kerja melonjak karena lulusan baru dan perempuan yang kembali ingin bekerja.
Sementara itu, BPS mencatat angkatan kerja bertambah 3,67 juta orang dalam setahun. Dari jumlah itu, 145,77 juta orang bekerja, namun tak semuanya bekerja penuh waktu. Tercatat, 37,62 juta orang bekerja paruh waktu, dan 11,67 juta orang tergolong setengah pengangguran—orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan. Ini fakta lain yang luput disinggung Menaker.
Ada juga jebakan dalam melihat angka presentase. Ketika presentase pengangguran turun tipis namun jumlah total pengangguran naik, itu artinya ada perubahan dalam komposisi pasar kerja—bukan semata perbaikan kondisi. Kembali ke angka 7,28 juta penganggur tadi, yang tidak kecil untuk sebuah negara yang mengklaim memiliki pertumbuhan ekonomi stabil. Bahkan, Bank Dunia menyebut bahwa 60 persen warga Indonesia masih tergolong miskin—sebuah ironi yang membuat angka-angka ketenagakerjaan perlu dibaca lebih cermat, tidak sekadar sebagai pajangan di podium.
IMF pun turut menyoroti hal ini. Lembaga internasional itu memprediksi angka pengangguran Indonesia justru akan naik di tahun 2025, meskipun ekonomi tumbuh 4,7 persen. Sebuah pertanda bahwa pertumbuhan itu tak cukup menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Dalam situasi seperti ini, publik berhak curiga terhadap retorika pejabat. Ketika angka dipelintir untuk menunjukkan pencapaian, padahal isinya kebijakan yang tambal sulam, itu bukan sekadar pengaburan data—melainkan pengingkaran terhadap realitas jutaan rakyat yang masih menganggur.
Adalah hak setiap pejabat untuk memberikan pernyataan. Tapi adalah kewajiban publik dan pers untuk membongkar ketika pernyataan itu menyesatkan. Angka memang bisa dipoles. Tapi fakta di lapangan tak bisa dibohongi. Jutaan warga masih mencari kerja. Mereka tidak butuh propaganda. Mereka butuh lapangan kerja, bukan permainan angka.