Oleh: Damai Hari Lubis
Polemik seputar keaslian ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mencuat ke ruang publik setelah Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mendatangi Universitas Gadjah Mada (UGM). Langkah TPUA ini bukan aksi tiba-tiba, melainkan telah melalui prosedur formal: surat resmi telah dilayangkan, bahkan korespondensi antara TPUA dan UGM berlangsung secara berkesinambungan—baik dalam bentuk surat maupun komunikasi via WhatsApp. Artinya, ini bukan tindakan sepihak, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mencari kejelasan dari institusi pendidikan tinggi yang telah melahirkan presiden saat ini.
Namun yang mengejutkan, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), muncul memberikan respons yang terkesan prejudice dan prematur. Ia menyatakan bahwa UGM sudah tepat untuk tidak membuka ijazah Jokowi, karena dokumen tersebut bersifat pribadi dan tidak bisa diakses sembarangan. Pernyataan ini tak hanya menafikan konteks permintaan yang diajukan secara resmi dan elegan, tetapi juga menunjukkan bahwa Mahfud telah kembali ke “habitatnya”: sebagai pembela status quo, seperti masa-masa mesra dan penuh canda bersama Jokowi dalam posisinya sebagai menteri kabinet.
Padahal, permintaan dari TPUA bukan semata-mata soal legalitas administratif, melainkan menyentuh aspek legitimasi publik. Di negara demokratis, keterbukaan informasi adalah syarat utama untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Ketika ijazah presiden menjadi barang yang begitu sulit diakses bahkan oleh lembaga masyarakat sipil yang sudah mengikuti prosedur resmi, publik wajar mempertanyakan: apa yang sedang disembunyikan?
Yang lebih disayangkan, Mahfud MD tidak merespons substansi, melainkan langsung membungkam ruang diskusi dengan menyebut bahwa permintaan TPUA tidak semestinya dipenuhi. Ini adalah bentuk delegitimasi terhadap hak warga negara untuk bertanya, sekaligus bentuk pengerdilan terhadap peran organisasi sipil dalam sistem demokrasi.
Jika Mahfud MD tetap berdiri pada posisi ini, maka jelas ia tak lagi berdiri di sisi rakyat, tapi telah tenggelam dalam arus kekuasaan yang dulu kerap ia kritik. Di masa lalu, Mahfud dikenal sebagai intelektual kritis dan pembela transparansi. Kini, ia tampak tak kuasa menanggalkan romantisme kekuasaannya bersama Jokowi—kembali ke habitat politik yang pernah membuatnya nyaman.
Polemik ijazah Jokowi bukan sekadar soal selembar kertas, melainkan uji konsistensi terhadap janji keterbukaan dan akuntabilitas dalam bernegara. Ketika pertanyaan publik dijawab dengan tameng birokrasi dan sindiran sinis, maka sebenarnya bukan TPUA yang mencederai etika, melainkan para pembela kekuasaan yang menutup-nutupi kebenaran.
Dalam demokrasi, tidak ada pertanyaan yang terlalu remeh bila menyangkut pemimpin. Dan tidak ada jawaban yang terlalu mulia untuk ditutup-tutupi dari rakyat.