FusilatNews – Sampai di sini, netizen meyakini bahwa ijazah Jokowi itu palsu. Itu saja. Titik.
Ketika suara publik telah terbentuk menjadi keyakinan, proses hukum, seakurat apa pun, menjadi seperti sandiwara yang tak lagi dipercayai lakon dan sutradaranya. Terlebih bila panggungnya adalah pengadilan Indonesia — di mana integritas kerap digadaikan pada kekuasaan, dan keadilan tak ubahnya jargon kosong dalam naskah yang kian usang.
Namun di tengah kabut keraguan itu, sebuah suara muncul. Dingin, jernih, dan menjungkirkan arah perdebatan. Goenawan Mohamad — penyair, wartawan, dan pendiri Tempo — menulis:
“Saya mendukung ide, agar heboh soal ijazah mantan Presiden Jokowi tak diterus-teruskan. Palsu atau asli, tak ada dampaknya lagi: beliau tak punya kekuasaan.”
Pernyataan itu bukan apologi. Ia juga bukan vonis. Tapi semacam pengalihan sorot, dari sebuah masa lalu yang mungkin sudah beku, kepada masa kini yang masih lincah menyusun ulang arah sejarah bangsa.
Adalah benar bahwa Jokowi sudah bukan siapa-siapa lagi secara konstitusional. Tak ada kekuasaan yang melekat padanya, kecuali pengaruh — dan itu pun semakin digerogoti waktu. Maka terus-menerus menggugat keabsahan ijazah seorang mantan presiden, selain memberi angin pada wacana konspiratif yang mengular tanpa akhir, juga membuat kita lupa pada sesuatu yang lebih urgen.
Dan di sinilah kalimat Goenawan berikutnya menjadi penting:
“Saya lebih sepakat, yang perlu diusut adalah pendidikan Wakil Presiden, Gibran. Apa sekolahnya? Di mana? Apa ijazahnya, latar belakang keahliannya? Bagaimana prestasinya?”
Gibran adalah hari ini. Bahkan esok. Dan kita tahu, ia bukan sekadar “wakil”. Dalam realitas politik kekinian, ia lebih dari itu — perpanjangan tangan kekuasaan yang lama, penerus garis istana, dan simbol lahirnya oligarki dalam baju demokrasi elektoral. Maka, tak salah jika pertanyaan Goenawan justru menyeruak dengan ketepatan jam dinding: siapa dia sebenarnya? Apa rekam pendidikan dan intelektualnya?
Publik punya hak untuk tahu. Bukan karena ingin menjatuhkan, tetapi karena ingin menjaga republik. Negara ini terlalu besar untuk diserahkan pada wajah-wajah muda yang tampil tanpa rekam jejak jelas, apalagi bila kemunculannya dipercepat oleh rekayasa aturan dan kerendahan etika.
Ijazah Jokowi, palsu atau tidak, sudah menjadi cerita lama. Tapi masa depan Indonesia, yang kini diletakkan di tangan para penerusnya — itu bukan cerita lama. Itu soal hari ini.
Dan seperti gaya Goenawan: kita tak perlu berteriak. Cukup satu kalimat yang tajam, sederhana, dan memantul di kepala lama setelah dibaca.
Karena kadang, pertanyaan yang ditunda, justru lebih berbahaya dari jawaban yang ditolak.