Tentu saja, situasi ini bisa menjadi kompleks bagi SBY. Melihat anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang kini menjadi menteri dalam pemerintahan Presiden Jokowi, bisa menjadi momen yang penuh dengan pertimbangan dan refleksi bagi SBY.
Pertama-tama, sebagai seorang ayah, SBY mungkin merasa bangga melihat anaknya menduduki posisi yang penting dalam pemerintahan. Ini bisa menjadi pencapaian yang membanggakan bagi keluarga Yudhoyono secara pribadi, serta memberikan rasa lega bahwa anaknya telah menemukan panggilan dan kesuksesan dalam karirnya.
Namun, sebagai seorang politisi yang telah menjabat sebagai presiden, SBY juga mungkin memiliki pertimbangan politik yang kompleks terkait dengan posisi AHY dalam pemerintahan Jokowi. Meskipun AHY adalah bagian dari partai oposisi yang dipimpinnya sendiri, keputusannya untuk menjadi bagian dari kabinet Jokowi mungkin menimbulkan kemurkaan bagi para kader atau simpatisan PD, yang tekah lama bareng mengkritisi pemerintahan Jokowi.
Ini seolah-olah SBY dan anaknya, meninggalkan mereka, dan AHY asyik bercanda lagi dengan Moeldoko.
SBY mungkin juga merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa AHY menjalankan tugasnya sebagai menteri dengan baik dan memperjuangkan kepentingan rakyat, terlepas dari perbedaan politik di antara mereka. Ini bisa menciptakan dilema moral bagi SBY, di mana dia harus menemukan keseimbangan antara dukungan terhadap anaknya dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin politik yang lebih luas.
Selain itu, SBY juga mungkin merasa perlu untuk menjaga citra dan reputasi partainya, Partai Demokrat, di tengah dinamika politik yang berubah-ubah. Keputusan AHY untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi bisa memicu reaksi dari anggota partai dan pendukungnya, dan SBY menjadi dader dari perilaku politik dan sikap Ketum PD.
Secara keseluruhan, SBY mungkin menghadapi campuran perasaan antara kebanggaan, pertimbangan politik, dan tanggung jawab sebagai seorang ayah dan pemimpin politik. Baginya, situasi ini bisa menjadi ujian terhadap keterampilan kepemimpinan dan ketegasannya dalam menghadapi tantangan politik yang kompleks. Yang pasti, sikap dan pandangan SBY terhadap pemerintahan Jokowi tidak seperti yang Ia tulis dalam bukunya Cawe Cawe Presiden Jokowi – President Can Do No Wrong.
Dalam konteks ini, dilema moral yang mungkin dihadapi oleh SBY tampak jelas. Di satu sisi, sebagai seorang ayah, dia merasa bangga melihat anaknya mencapai kesuksesan dalam karir politiknya. Namun, di sisi lain, sebagai seorang politisi dan pemimpin partai, SBY harus menghadapi konsekuensi politik dari keputusan AHY untuk menjadi bagian dari pemerintahan yang telah lama dikritik oleh partainya.
Keputusan AHY untuk bergabung dengan kabinet Jokowi tidak hanya memicu kemarahan dari anggota partai dan pendukungnya, tetapi juga menempatkan SBY dalam posisi yang sulit. Dia harus menemukan keseimbangan antara dukungan terhadap anaknya dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin partai, yang dianggapnya sebagai keluarga politiknya.
Selain itu, SBY juga harus mempertimbangkan citra dan reputasi Partai Demokrat dalam dinamika politik yang terus berubah. Keputusan AHY bisa membuka jurang di antara anggota partai dan mendistorsi pesan dan visi partai tersebut, serta menyebabkan konflik internal yang lebih dalam.
Dengan demikian, SBY dihadapkan pada tantangan yang kompleks, di mana dia harus menjalankan peran ganda sebagai seorang ayah dan seorang politisi. Meskipun kebanggaan pribadi mungkin hadir karena pencapaian AHY, SBY juga harus mengatasi konsekuensi politik dari keputusan anaknya.
Secara keseluruhan, ini adalah ujian bagi kepemimpinan dan ketegasan SBY dalam menghadapi situasi yang penuh dengan dilema moral. Baginya, ini adalah momen di mana dia harus menunjukkan integritas dan kepemimpinan yang kuat, sambil mempertahankan kesetiaannya terhadap nilai-nilai politik dan visi partainya. Yang pasti, sikap dan pandangan SBY terhadap pemerintahan Jokowi dan keputusan AHY tidak dapat dianggap sepele, karena itu mencerminkan dinamika kompleks politik Indonesia dan perjuangan internal dalam partai politik.