Isu masuknya Haikal Hassan ke dalam kabinet Prabowo Subianto memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. Belum diangkat secara resmi, sikapnya yang berbelok arah ini menimbulkan kontroversi, mengingat pernyataannya yang sebelumnya tegas dan konfrontatif terhadap penguasa. Dalam beberapa kesempatan, Haikal pernah menyatakan, “Jika Prabowo terpilih sebagai presiden, saya akan menjadi oposisi.” Dengan nada sinis, ia bahkan menggambarkan kedekatan seorang ulama dengan penguasa sebagai “lalat yang mengerubungi bangkai,” suatu ungkapan yang menunjukkan betapa rendahnya martabat seseorang yang menerima kekuasaan tanpa integritas.
Sikap Haikal ini mencerminkan hipokrit—kondisi di mana seseorang mengklaim nilai-nilai tertentu tetapi bertindak secara berlawanan. Dalam konteks ini, Haikal seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip yang selama ini ia junjung tinggi. Ketika ia memilih untuk mendekat kepada penguasa yang sebelumnya ia kritik, maka ia tidak hanya mengecewakan pendukungnya, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap tokoh agama dan intelektual. Ini bukan sekadar masalah jabatan, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap aspirasi dan harapan rakyat yang menginginkan pemimpin yang berintegritas.
Dalam pandangan agama, sikap seperti ini sangat jelas ditentang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 8: “Di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,’ padahal mereka sebenarnya tidak beriman.” Ini adalah gambaran tepat tentang kemunafikan—ketika seseorang mengklaim keimanan, tetapi tindakan dan pilihannya tidak mencerminkan keimanan tersebut.
Lebih jauh lagi, dalam istilah bahasa Arab, sikap seperti ini dapat disebut “nifaq” (نفاق), yang berarti kemunafikan atau kepura-puraan. Nifaq menjadi salah satu sifat tercela yang dihindari dalam ajaran Islam. Seorang ulama yang berani mengkritik penguasa dan menyuarakan ketidakpuasan rakyat, seharusnya mampu mempertahankan posisinya dengan integritas, bukan malah berkompromi dengan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Keberadaan Haikal dalam daftar calon menteri ini menciptakan gambaran yang sangat kontradiktif. Ia yang dahulu menjadi suara perlawanan kini menjadi bagian dari kekuasaan yang sama. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah niat sebenarnya di balik semua ini? Apakah untuk mencapai tujuan yang lebih mulia atau sekadar mencari posisi dalam hierarki kekuasaan? Dalam politik, sering kali idealisme dapat tergerus oleh ambisi dan keinginan untuk berkuasa. Namun, bagi seorang ulama, hal ini seharusnya menjadi cermin untuk menjaga diri dari fitnah dan kesesatan.
Seiring dengan pelantikan kabinet baru yang semakin dekat, publik berhak untuk menuntut kejelasan dari sosok yang mungkin akan dilantik. Apakah Haikal Hassan akan konsisten dengan apa yang pernah diucapkannya, atau justru akan semakin tenggelam dalam realitas politik yang penuh dengan intrik dan kepentingan pribadi? Dengan segala keraguan dan kontroversi yang mengitarinya, Haikal perlu membuktikan bahwa pilihan yang diambilnya bukan hanya sekadar strategi politik, melainkan sebuah komitmen yang tulus untuk membawa perubahan bagi bangsa, bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata.