Jakarta, Fusilatnews – Ibarat wayang, sudahlah masuk kotak saja. Percuma dalang memainkan Anda.
Pesan tersebut sepertinya patut disampaikan kepada Ahok. Sosok bernama asli Basuki Tjahaja Purnama itu kini sedang digadang-gadang (atau menggadang-gadang diri?) untuk dicalonkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada 27 November mendatang.
Ahok disebut akan diajukan sebagai calon gubernur di Jakarta atau Sumatera Utara oleh partainya, PDI Perjuangan.
Di Jakarta, Ahok akan diadu dengan Anies Baswedan yang sudah resmi dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mungkin disusul Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem; dan dengan Ridwan Kamil yang kemungkinan akan dicalonkan Partai Golkar. Ketiganya sama-sama bekas gubernur. Ahok dan Anies di DKI Jakarta, Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, di Jawa Barat.
PDIP memang sempat melirik Anies. Tapi sepertinya akan sulit jika partai banteng itu tidak dapat jatah kursi calon wakil gubernur, sehingga akan membentuk poros baru. Ahok-lah yang kemungkinan besar akan menjadi alternatif PDIP.
Adapun di Sumut, Ahok disebut akan ditarungkan dengan Bobby Nasution yang sudah dicalonkan oleh sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju. Bobby yang menantu Presiden Joko Widodo itu saat ini menjabat Walikota Medan.
Elektabilitas Anies sementara ini tertinggi di Jakarta. Disusul Ahok dan Kang Emil. Sedangkan elektabilitas Ahok di Sumut masih jadi tanda tanya. Apalagi pada Pilkada Sumut 2018, cagub dari PDIP, Djarot Saiful Hidayat kalah telak.
Ahok memang pintar. Tapi memilih seorang pemimpin tidak hanya yang pintar.
Ahok, sejauh ini memang belum terbukti korupsi alias masih bersih. Tapi memilih seorang pemimpin tidak hanya yang bersih (dan juga pintar).
Di samping pintar dan bersih, seorang pemimpin yang kita pilih juga harus “wise” (bijak). Ahok bukanlah tipe seorang pemimpin yang bijak. “Track records” atau rekam jejaknya semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) sudah membuktikan itu. Tutur katanya cenderung sarkasme, jauh dari bijak.
Apakah sarkasme berarti melanggar aturan atau undang-undang? Tidak. Yang dilanggar adalah kepatutan dan etika sebagai seorang pemimpin. Derajat etika lebih tinggi daripada hukum.
Ahok dikenal sebagai politikus kutu loncat. Semula bergabung dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru dan terpilih menjadi anggota DPRD Bangka Balitung dan kemudian menjadi Bupati Belitung Timur, Ahok lalu loncat ke Golkar dan terpilih menjadi anggota DPR RI. Lalu Ahok loncat lagi ke Partai Gerindra saat dicalonkan di Pilkada DKI Jakarta 2017, sebagai cawagub berpasangan dengan cagub Jokowi. Setelah itu, Ahok bergabung dengan PDIP. Ahok kemudian diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina pada 2019.
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Ahok mundur dari Pertamina. Ahok kemudian pecah kongsi dengan Jokowi. Wong Solo itu mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ahok mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang diusung partainya. Ahok pun tak sungkan-sungkan lagi mulai mengkritisi pemerintahan Jokowi.
Apakah menjadi kutu loncat politik itu salah? Tidak. Tidak ada undang-undang yang dilanggar Ahok. Apalagi sudah jamak seorang politikus berganti-ganti parpol. Hanya saja dari sisi konsistensi patut dipertanyakan.
Ahok juga seorang bekas narapidana kasus penistaan agama yang dihukum dua tahun penjara. Salahkah jika bekas narapidana maju dalam pilkada? Tidak. Tidak ada undang-undang yang dilanggar Ahok jika maju sebagai cagub. Tapi dari sisi kepatutan, patut dipertanyakan.
Apakah dari 275 juta rakyat Indonesia hanya Ahok yang bisa menjadi gubernur Jakarta atau Sumut? Tidak!
Ahok, mohon maaf tanpa bermaksud diskriminatif atau intoleran, adalah non-Muslim. Sementara Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim, sekitar 82 persen. Salahkah Ahok yang memeluk agama minoritas jika memimpin Jakarta atau Sumut yang mayoritas Muslim?
Tidak. Ahok tidak salah. Tidak ada undang-undang yang dilanggar Ahok yang non-Muslim itu jika memimpin wilayah provinsi yang mayoritas penduduknya Muslim. Akan tetapi dari sisi kepatutan, perlu dipertanyakan.
Nyaris tak ada negara di muka bumi ini yang setoleran Indonesia. Lihat saja nasib minoritas Muslim di Myanmar, India, Tiongkok dan sebagainya yang tertindas. Sementara tidak ada minoritas non-Muslim di Indonesia yang tertindas. Kalau pun ada minoritas yang sedikit mengalami kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah, itu masih dalam batas kewajaran. Hanya karena ulah oknum tertentu. Bukan karena ulah mayoritas Muslim atau bahkan negara dan pemerintah.
Di sisi lain, elektabilitas Ahok kini tak lagi menohok. Di wilayah mana pun, tingkat keterpilihan Ahok sudah tidak menjanjikan lagi. Apalagi setelah pecah kongsi dengan Jokowi.
Alhasil, untuk apa Ahok kembali dimainkan? Janganlah kondisi negara yang sudah kondusif untuk membangun ini kembali gaduh gara-gara pencalonan Ahok.
Sekali lagi, Ahok memang pintar. Tapi memilih seorang pemimpin tidak hanya yang pintar.
Ahok sementara ini memang masih relatif bersih. Tapi memilih seorang pemimpin tidak hanya yang bersih.
Jadi, ketika sang dalang nanti tidak mencalonkan Ahok, bukan karena dia tidak pintar, tidak bersih, atau memeluk agama minoritas. Tapi karena kepatutan. Tidak patut seseorang yang tidak bijak dan cenderung sarkasme memimpin sebuah wilayah di Indonesia. Apalagi memimpin seluruh wilayah dan rakyat Indonesia.
Bahkan berani taruhan, hari ini Ahok adalah kartu mati. Sudah tidak laku jual lagi.
Jadi, sudahlah, Ahok masuk kotak saja!
Jakarta, 21 Juni 2024.
Karyudi Sutajah Putra