FusilatNews – Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Pemerintah dan kekuasaan yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan, adalah makhluk terburuk di dunia.” Sebuah kutipan yang tajam dan relevan dalam menilai karakter kepemimpinan dan pemerintahan di berbagai era, termasuk pemerintahan Prabowo Subianto yang saat ini sedang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini menjadi cermin kritis bagi kepemimpinan Prabowo di tengah bayang-bayang skandal pemerintahan Jokowi.
Warisan Skandal Jokowi dan Beban Moral Prabowo
Pemerintahan Jokowi meninggalkan sejumlah skandal besar yang menimbulkan tanda tanya tentang integritas kekuasaan. Mulai dari dugaan nepotisme dalam pengangkatan pejabat publik, manipulasi politik dalam Pemilu 2024, hingga kontroversi megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang penuh dengan ketidaktransparanan. Bagi Prabowo, situasi ini bukan sekadar warisan politik, tetapi ujian nyata bagi kepemimpinannya: apakah ia akan membersihkan jejak kebohongan atau justru melanjutkan pola yang sama?
Prabowo, yang kini telah naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan penuh dari Jokowi, dihadapkan pada dilema moral. Jika ia benar-benar ingin menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, ia harus berani menegakkan kebenaran dan membongkar kebohongan yang diwariskan oleh pendahulunya. Namun, jika ia memilih untuk menutup mata dan melindungi kepentingan politik tertentu, maka ia hanya akan mempertegas bahwa pemerintahannya tidak lebih dari kelanjutan rezim yang menutupi kebenaran demi kepentingan segelintir orang.
Politik Tanpa Kebenaran: Ancaman bagi Legitimasi Kekuasaan
Pemerintahan yang mengabaikan kebenaran akan kehilangan legitimasi di mata rakyat. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana skandal politik di bawah Jokowi tidak pernah benar-benar diselesaikan secara transparan. Dugaan intervensi dalam pemilu, penggunaan aparat hukum untuk kepentingan politik, dan pengabaian terhadap supremasi hukum adalah masalah-masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Jika Prabowo ingin menghindari jebakan yang sama, maka ia harus mengambil langkah berani: membongkar kebohongan, mengusut skandal yang ada, dan memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, melihat fakta bahwa ia sendiri merupakan bagian dari konsolidasi kekuasaan Jokowi, skeptisisme publik terhadap keseriusannya dalam menegakkan keadilan sangat beralasan.
Apakah Prabowo Akan Menjadi Makhluk Terburuk?
Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa pemerintah yang tidak menegakkan kebenaran dan membiarkan kebohongan akan menjadi makhluk terburuk. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan dirinya jatuh dalam kategori ini? Ataukah ia akan membuktikan bahwa dirinya berbeda, dengan membangun pemerintahan yang bersih dari warisan kebohongan dan manipulasi politik?
Rakyat Indonesia menunggu jawabannya. Jika Prabowo memilih untuk berkompromi dengan kebohongan, maka ia hanya akan menjadi pelengkap dari sistem yang telah lama kehilangan integritas. Namun, jika ia memiliki keberanian untuk membongkar kebusukan yang ada, maka ia berpotensi mencatat sejarah sebagai pemimpin yang mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
Bagaimanapun juga, sejarah akan mencatat pilihannya. Apakah ia akan menjadi pemimpin yang menegakkan kebenaran, atau sekadar bagian dari makhluk terburuk di dunia seperti yang diperingatkan oleh Ali bin Abi Thalib?