Oleh: Entang Sastraatmadja
Beras di tanah merdeka bukan sekadar komoditas biasa. Pemerintah telah memberi atribusi khusus terhadap beras, menjadikannya sebagai komoditas yang bersifat politis dan strategis. Mengapa demikian? Setidaknya ada enam alasan utama yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertama, beras adalah kebutuhan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia, sehingga keberadaannya sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Kedua, stabilitas harga dan ketersediaan beras berpengaruh langsung terhadap stabilitas politik. Kekurangan beras atau lonjakan harga dapat memicu ketidakpuasan sosial dan bahkan konflik politik.
Ketiga, Indonesia masih bergantung pada impor beras, sehingga ketergantungan ini berisiko mengancam keamanan pangan dan kedaulatan ekonomi. Keempat, harga beras yang fluktuatif berkontribusi terhadap inflasi nasional, sehingga beras menjadi faktor yang krusial dalam stabilitas ekonomi. Kelima, beras adalah komoditas yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat. Dan keenam, beras merupakan bagian integral dari keamanan pangan nasional.
Ketergantungan masyarakat terhadap beras semakin sulit dilawan. Tidak ada kebijakan pemerintah yang mampu menghentikan dominasi beras sebagai pangan utama. Sayangnya, pemerintah tampak setengah hati dalam mencari solusi alternatif. Alih-alih memperkuat produksi dalam negeri, kebijakan yang diambil justru kembali kepada impor sebagai langkah instan.
Pada tahun 2024, ketika produksi beras nasional merosot, pemerintah dengan mudahnya menyalahkan dampak El Niño. Namun, pertanyaan kritisnya adalah: apakah benar semua ini terjadi hanya karena faktor cuaca? Fakta menunjukkan bahwa ada banyak penyebab lain di balik “darurat beras” yang kita alami, termasuk kurangnya benih unggul, kelangkaan pupuk bersubsidi, serta buruknya infrastruktur irigasi.
Pengakuan pemerintah mengenai keterbatasan produksi beras harus menjadi perhatian serius, terutama bagi jajaran menteri yang bertanggung jawab atas sektor ini. Turunnya produksi beras seharusnya tidak terjadi jika tata kelola perberasan dijalankan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab.
Selain faktor teknis, permasalahan di sektor pertanian juga diperparah oleh skandal kejahatan “kerah putih” di Kementerian Pertanian. Bagaimana mungkin swasembada pangan tercapai jika para petinggi kementerian lebih sibuk mengumpulkan uang setoran daripada menjalankan tugasnya? Anjloknya produksi beras bukan hanya akibat faktor alam, tetapi juga akibat lemahnya tata kelola dan korupsi di sektor ini.
Bung Karno pernah mengingatkan bahwa urusan pangan menyangkut hidup dan matinya suatu bangsa. Namun, bukan berarti seluruh kehidupan kita harus “diberaskan”. Ketergantungan terhadap nasi perlu dikurangi melalui diversifikasi pangan yang lebih luas. Program bantuan pangan tidak harus selalu beras; mengapa tidak mulai memperkenalkan jagung, sagu, singkong, dan sumber pangan lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah?
Mumpung Ketua Dewan Pengawas Perum Bulog adalah Wakil Menteri Pertanian, sudah saatnya kebijakan bantuan pangan lebih bervariasi. Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus berani membahas strategi baru bersama Kemenko Bidang Pangan dan Bappenas untuk mewujudkan ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan.
Beras memang memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa ini. Namun, pemerintah tidak boleh bermain-main dengan persoalan ini. Ketersediaan beras harus dipastikan sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika tidak, krisis pangan bukan sekadar ancaman, tetapi kenyataan yang semakin dekat.
(Penulis, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat).