Damai Hari Lubis dan Richard Dawkins adalah dua figur yang masing-masing mengangkat istilah delusi dalam konteks berbeda namun berpotensi saling berkaitan ketika dibedah lebih lanjut. Lubis menggunakan istilah ini dalam ranah politik dan hukum di Indonesia, sementara Dawkins merumuskannya dalam konteks agama dan evolusi. Namun, jika kita membandingkan dua penulis ini dan melibatkan kritik terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kita dapat menemukan kontras yang menonjol di antara karya mereka, serta relevansi dengan situasi politik Indonesia saat ini.
Richard Dawkins dan “Delusion of God”
Richard Dawkins, dalam bukunya The God Delusion, mengkritik keyakinan agama sebagai bentuk “delusi”, suatu keyakinan tanpa dasar rasional yang dipercaya meski ada bukti yang bertentangan. Dawkins menentang gagasan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang pasti, dan menganggap agama sebagai ancaman bagi kemajuan intelektual manusia. Bagi Dawkins, keyakinan agama sering kali menghambat manusia dalam berpikir kritis, karena dogma agama cenderung bersifat stagnan dan anti-sains.
Jika kita tarik paralel ini ke dalam dunia politik, terutama ketika menelaah kepemimpinan Jokowi, kita bisa mengamati beberapa kemiripan. Pemimpin Indonesia ini sering kali dilihat sebagai sosok yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan stabilitas politik, namun dalam praktiknya, pengambilan keputusannya kerap diwarnai oleh kontradiksi yang menimbulkan “delusi” tentang kebijakan dan komitmen politiknya.
Seperti agama dalam konteks Dawkins yang digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan yang tidak selalu logis, kebijakan Jokowi sering kali diwarnai oleh retorika yang indah namun tidak berakar kuat pada solusi nyata atas masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Misalnya, slogan pembangunan besar-besaran seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) sering diklaim sebagai terobosan maju, namun pada kenyataannya, program-program semacam ini justru menjadi bukti kurangnya perhatian Jokowi terhadap aspek-aspek fundamental lain seperti pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan kesehatan.
Damai Hari Lubis dan Delusi Politik
Di sisi lain, Damai Hari Lubis menggunakan istilah delusi dalam konteks politik yang lebih pragmatis. Dalam kritiknya, dia sering menyerang pemerintah Jokowi dengan menyebut adanya delusi politik yang terjadi di antara para elite dan masyarakat yang dibiarkan tertipu oleh janji-janji politik yang tidak realistis. Lubis melihat fenomena ini sebagai hasil dari kecenderungan pemerintah yang mengabaikan transparansi, memperburuk demokrasi, dan meninggalkan reformasi hukum yang sejati.
Lubis mencermati bahwa Jokowi sering mengandalkan pencitraan, sebuah bentuk delusi modern di mana realitas politik disulap menjadi gambaran yang manis melalui media, meski substansinya lemah. Kebijakan yang didasarkan pada “popularitas” tanpa fondasi logis, terutama dalam konteks pandemi COVID-19, dianggap sebagai salah satu bentuk delusi politik paling menonjol yang dia kritik. Janji-janji seperti kemandirian ekonomi dan penegakan hukum yang kuat tak lebih dari omong kosong, seperti halnya konsep Dawkins mengenai dogma agama yang tidak berdasar.
Decaying Jokowi’s Leadership: Antara Dawkins dan Lubis
Jika kita gabungkan perspektif Dawkins dan Lubis untuk menelaah kepemimpinan Jokowi, tampak bahwa Jokowi mungkin terperangkap dalam decay atau peluruhan dari kepemimpinan yang awalnya dianggap progresif dan visioner. Dawkins berbicara tentang bagaimana delusi agama melumpuhkan inovasi dan kebebasan berpikir, sementara Lubis menyentuh realitas politik Indonesia yang kian terseret dalam dogma kekuasaan yang tanpa substansi.
Sebagai pemimpin, Jokowi semakin terlihat bergeser dari idealisme awal menuju pragmatisme berbahaya yang hanya mempertahankan status quo. Dalam hal ini, kita melihat decay intelektual dan moral yang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Pembangunan infrastruktur besar-besaran dan proyek-proyek ambisius menjadi prioritas sementara penegakan hukum, pendidikan, dan isu-isu kesejahteraan masyarakat terpinggirkan.
Seperti yang dikemukakan oleh Dawkins bahwa agama menghalangi logika ilmiah, Jokowi telah terjebak dalam delusi politik yang menghalangi terciptanya kebijakan berbasis data dan akal sehat. Ia memprioritaskan narasi popularitas dan pembangunan citra daripada penegakan keadilan sosial yang nyata. Fenomena ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Lubis: kekuasaan yang terlepas dari realitas dan kebutuhan rakyat adalah bentuk delusi yang paling berbahaya.
Kesimpulan: Memahami Delusi dan Peluruhan
Baik Dawkins maupun Lubis sama-sama mengkritik delusi yang membelenggu masyarakat, meski dari sudut pandang berbeda. Dawkins menekankan pada peluruhan pemikiran karena dogma agama, sedangkan Lubis memperingatkan tentang delusi politik yang memisahkan pemerintah dari kenyataan. Jika kita terapkan konsep ini pada Jokowi, terlihat jelas bahwa Indonesia di bawah pemerintahannya mulai menunjukkan tanda-tanda peluruhan baik dalam hal pemikiran maupun kebijakan. Tanpa perubahan yang signifikan, delusi yang dipupuk oleh retorika populis dan proyek infrastruktur besar-besaran akan semakin merusak fondasi demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Dengan ini, penting bagi masyarakat Indonesia untuk tetap kritis dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang mungkin hanya berlandaskan pada citra dan popularitas, bukan pada kebutuhan nyata rakyat. Sebagaimana Dawkins menentang dogma agama, kita harus menolak delusi politik yang merusak kebebasan berpikir dan kesejahteraan umum.