Pembukaan Hutan dan Risiko Kesehatan
Pembukaan 20 juta hektare hutan untuk swasembada pangan, energi, dan air menjadi isu serius yang tak hanya menyentuh aspek lingkungan, tetapi juga kesehatan global. Proyek seperti food estate di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, mencerminkan dilema besar: kebutuhan untuk mengamankan ketahanan pangan versus dampak ekologi yang berpotensi memicu epidemi zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Deforestasi, yang mengubah ekosistem alami menjadi area terbuka, merusak keseimbangan habitat satwa liar. Data menunjukkan bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kehilangan 12,5 juta hektare hutan. Dampaknya tak hanya berupa hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatnya risiko penyebaran penyakit dari hewan liar ke manusia.
Zoonosis dan Kaitannya dengan Deforestasi
Penelitian Rory Gibb dari University College London menunjukkan bahwa deforestasi mendorong migrasi dan adaptasi satwa liar ke area yang lebih dekat dengan manusia. Hilangnya habitat alami membuat banyak spesies pembawa penyakit, seperti tikus, kelelawar, dan primata, masuk ke pemukiman manusia. Kondisi ini diperparah oleh berkurangnya jumlah karnivora, yang seharusnya menjadi predator alami hewan pembawa penyakit. Akibatnya, populasi hewan seperti tikus yang dikenal sebagai reservoir penyakit meningkat tajam.
Contoh nyata dari risiko zoonosis akibat deforestasi adalah munculnya virus Nipah, Ebola, dan pandemi COVID-19, yang semuanya terkait erat dengan interaksi manusia dan satwa liar di wilayah yang terdegradasi. Ketika habitat satwa liar rusak, peluang patogen zoonotik berpindah ke manusia menjadi lebih besar.
Food Estate: Solusi atau Ancaman?
Proyek food estate yang digagas sebagai jawaban atas kebutuhan pangan Indonesia menjadi sorotan utama. Di Desa Tewai Baru, Kalimantan Tengah, pembukaan lahan untuk tanaman singkong melibatkan penggundulan hutan dalam skala besar. Dampaknya, selain emisi karbon yang meningkat, risiko epidemi zoonosis juga bertambah. Proyek ini, yang dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan pangan, justru berpotensi melemahkan ketahanan kesehatan nasional dan global.
Kritik terhadap proyek ini tidak hanya datang dari ahli lingkungan tetapi juga epidemiolog. Mereka memperingatkan bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak sebanding dengan potensi kerugian jangka panjang yang ditimbulkan oleh wabah penyakit.
Langkah Menuju Solusi
Mengatasi epidemi zoonosis akibat deforestasi membutuhkan pendekatan yang terintegrasi. Pemerintah harus memastikan kebijakan pembangunan berbasis keberlanjutan yang memprioritaskan perlindungan hutan. Selain itu, edukasi masyarakat mengenai dampak deforestasi dan zoonosis perlu ditingkatkan.
Penerapan pendekatan berbasis ekosistem, seperti agroforestri, dapat menjadi solusi untuk mengurangi tekanan pada hutan. Dengan menjaga keanekaragaman hayati, kita tidak hanya melindungi ekosistem tetapi juga mengurangi risiko penyebaran penyakit zoonosis.
Penutup
Deforestasi yang masif di Indonesia telah membawa konsekuensi serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Risiko epidemi zoonosis menjadi alarm bagi kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mendorong solusi yang memadukan keberlanjutan ekologis dan kebutuhan pangan demi masa depan yang lebih sehat dan aman.