Jakarta, Fusilatnews – Dalam sebuah diskusi yang digelar di Aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Taman Ismail Marzuki, para panelis memaparkan pandangan mengenai konsep batas usia dewasa dalam Islam dan tantangan pendidikan di Indonesia. Ustaz H. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), menyoroti perbedaan definisi kedewasaan dalam pandangan Islam dan aturan pemerintah, serta bagaimana hal ini berdampak pada pembinaan karakter anak dan remaja.
Menurut Ustaz Adian, dalam Islam, seseorang dianggap dewasa (baligh) ketika sudah mencapai tanda-tanda biologis, seperti mimpi basah, yang berarti bahwa tanggung jawab dosa telah sepenuhnya menjadi milik anak tersebut. Namun, peraturan pemerintah menetapkan usia dewasa berdasarkan usia Kartu Tanda Penduduk (KTP), yaitu 17 tahun. Perbedaan ini, menurut Adian, menciptakan masalah, seperti ketidakjelasan batasan tanggung jawab pada remaja yang dianggap belum dewasa secara hukum.
Ustaz Adian juga menyoroti pendidikan di masa pra-kemerdekaan yang dianggap memiliki kualitas tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh sistem pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati pada 1911. “Surkati memilih berdakwah di Jawa, bukan kembali ke Mekah, untuk membangun pendidikan karakter Islam yang bisa bersaing dengan sistem kolonial Belanda,” jelasnya.
Surkati, yang terkenal dengan kurikulum modernnya, mengajarkan sejarah peradaban Eropa dalam bahasa Inggris, menciptakan sebuah alternatif pendidikan agama yang berkualitas. Tokoh lainnya, seperti A. Hasan, berpendapat bahwa pendidikan harus membentuk karakter yang kuat dan membangun hubungan dengan ulama untuk membentuk akhlak mulia. Pendidikan karakter seperti ini, lanjut Adian, berperan penting dalam menjaga iman umat Muslim Indonesia yang terus menghadapi tantangan zaman.
Di akhir acara, Ustaz Adian mengungkapkan keprihatinannya terhadap menurunnya minat untuk menjadi guru, padahal peran ini sangat penting dalam pendidikan karakter. “Alhamdulillah, di pesantren kami di Cilodong, Bogor, alumni SMA-nya mampu menjadi pemimpin dan guru beradab, serta aktif dalam kursus singkat pengajaran adab yang kami gelar,” ungkapnya.
Diskusi ini juga menghadirkan tokoh-tokoh lain seperti Prof. Dr. Jefry Alkatiri, dosen Sastra UI; Narudin Pituin, sastrawan; dan moderator Nabil Karim. Acara yang bersamaan dengan peluncuran novel sejarah Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875-1943) karya Ady Amar ini dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, termasuk Prof. Faisol Nasar, Fuad Baraja, dan Buni Yani.
Sebelumnya, sehari sebelum acara ini, Pusat Dokumentasi Al-Irsyad di Empang, Bogor, juga menggelar acara peluncuran kitab Syekh Ahmad Surkati di Perpustakaan Nasional dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, dengan dukungan Abdullah Abubakar.
Diskusi ini menggugah perhatian publik akan pentingnya pengajaran berbasis karakter dan panduan Islam yang kokoh sebagai landasan pendidikan di Indonesia.