FusilatNews – Pada tahun 2024, sekitar 2,2 juta wisatawan Malaysia berkunjung ke Indonesia. Sementara itu, pada tahun yang sama, hampir 3,9 juta wisatawan Indonesia justru melancong ke Malaysia. Pada awal 2025 saja, jumlah wisatawan Indonesia ke Malaysia sudah mencapai 774.994 orang, meningkat hampir 15 persen dibanding tahun sebelumnya.
Ketimpangan arus wisatawan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Indonesia: mengapa lebih banyak orang Indonesia yang berlibur ke Malaysia, ketimbang sebaliknya? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita pelajari dari agresivitas Malaysia dalam membangun industrinya?
Tourism Malaysia, lewat kampanye Visit Malaysia 2026, membidik angka ambisius: 4,3 juta wisatawan Indonesia tahun ini, dan naik menjadi 4,7 juta pada tahun depan. Untuk mencapai target itu, mereka menggelar roadshow promosi di empat kota besar Indonesia — Medan, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta — dengan membawa 60 delegasi industri pariwisata, memperkenalkan berbagai destinasi, hingga menggoda lidah lewat promosi kuliner khas Malaysia.
Promosi Malaysia tidak hanya berhenti di kota-kota besar. Mereka memperluas pengenalan destinasi hingga ke negeri-negeri kecil seperti Kelantan, Pahang, Perak, bahkan hingga kawasan pantai timur yang selama ini kurang populer. Pendekatan ini membuat wisatawan Indonesia tidak hanya berkonsentrasi di Kuala Lumpur atau Melaka, tetapi mendorong eksplorasi yang lebih luas dan memperpanjang masa kunjungan.
Di sisi lain, Indonesia — meski kaya akan destinasi kelas dunia — masih terpaku pada pola promosi yang seremonial dan kurang terintegrasi. Bali tetap menjadi andalan utama, sementara kekayaan wisata di daerah lain seperti Labuan Bajo, Danau Toba, Raja Ampat, atau Belitung belum dipromosikan secara agresif dan strategis di pasar internasional.
Lalu, apa yang harus dilakukan Indonesia?
Pertama, Indonesia butuh kampanye nasional besar-besaran, berkelanjutan, dan terkoordinasi — bukan sekadar seremonial. Kedua, memperbanyak roadshow industri ke negara-negara target utama, melibatkan pelaku usaha wisata secara langsung. Ketiga, memperkenalkan diversifikasi destinasi wisata secara masif, bukan hanya mengandalkan satu dua ikon. Keempat, memperbaiki konektivitas transportasi dan pelayanan wisata secara serius. Dan terakhir, menjadikan promosi budaya serta kuliner sebagai senjata utama untuk menarik minat wisatawan dunia.
Malaysia menunjukkan bahwa keberhasilan pariwisata tidak hanya soal potensi, tetapi soal strategi dan eksekusi. Jika Indonesia ingin menjadi raksasa pariwisata dunia, kita harus berhenti puas dengan kekayaan alam semata, dan mulai bertindak seperti negara yang benar-benar ingin menang.