FusilatNews – Dalam satu ceramahnya yang beredar luas di YouTube, Ustaz Yusuf Mansur dengan wajah meyakinkan berkisah tentang sedekah Rp500 yang berubah jadi Rp500 ribu, lalu Rp500 juta, bahkan Rp5 miliar. Di lain kesempatan, ia bercerita tentang perjumpaannya dengan Nabi Muhammad SAW, juga percakapannya dengan semut dan ikan-ikan di pasar yang meloncat sendiri ke dalam keranjang. Cerita-cerita ini begitu menakjubkan, dramatis, dan tentu saja—mendapat tepuk tangan serta tangis haru dari jamaah yang memadati majelis.
Tapi kenyataan ternyata tidak sesyahdu cerita.
Mereka yang percaya dan menyerahkan uang kepada sang ustaz melalui berbagai lini bisnis syariahnya—mulai dari Paytren, proyek hotel patungan, hingga investasi haji dan umrah—satu per satu mulai merasa ditinggalkan. Uang tidak kembali. Janji manis berubah menjadi senyap. Yusuf Mansur dulu melenggang dari satu panggung ke panggung lain, ceramah di mana-mana, tampil rutin di televisi, dan menjadi rujukan utama bagi mereka yang mencari “keajaiban” lewat sedekah. Tapi itu masa lalu. Kini, panggung-panggung itu semakin sepi. Stasiun televisi yang dulu memperebutkannya, sudah tak lagi menayangkannya. Undangan ceramah pun surut. Popularitasnya runtuh, bukan karena fitnah, tapi karena realitas yang tak bisa lagi ditutupi oleh kisah-kisah ajaib yang ternyata fiktif.
Di sinilah letak problemnya: ketika agama dijadikan kemasan untuk menutupi kegagalan, bahkan kejahatan. Dusta dibungkus doa, kebohongan dilapisi dalil, manipulasi diselimuti narasi karomah. Semua tampak religius, tetapi sejatinya menipu.
Pada 2017, Yusuf Mansur mendorong publik untuk berinvestasi dalam aplikasi Paytren, yang digadang-gadang akan menjadi solusi digital keuangan umat. Ia menyebutnya sebagai bentuk jihad ekonomi, bahkan menyamakan sistem bisnisnya dengan Gojek dan Grab. Investor pun berbondong-bondong menanamkan uangnya.
Namun, pada 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut izin Paytren telah dicabut. Dalam laporan keuangan perusahaan, kerugian tercatat terus membengkak. Sebagian besar mitra kehilangan arah, bahkan modal. Tak ada transparansi, apalagi pertanggungjawaban yang jelas dari sang ustaz.
Skema yang sama terjadi dalam proyek-proyek investasi lainnya: hotel syariah, apartemen, dan tabungan haji. Ratusan orang menyerahkan dana mereka karena percaya pada imaji Yusuf Mansur sebagai “ustaz pengubah nasib lewat sedekah.” Tapi banyak dari mereka yang kemudian merasa menjadi korban janji kosong. Sebagian besar belum juga mendapatkan haknya. Beberapa menggugat ke pengadilan. Sisanya hanya bisa menangis, sembari berharap pada keajaiban yang tak kunjung datang.
Kisah Yusuf Mansur menunjukkan satu hal yang menakutkan dalam praktik keberagamaan kita hari ini: bagaimana agama bisa menjadi alat yang efektif untuk menutupi kebusukan. Bagaimana popularitas ustaz, jubah putih, dan kalimat-kalimat “subhanallah” bisa membuat publik kehilangan daya kritis, bahkan membenarkan kebohongan yang terang-benderang.
Padahal, agama tidak pernah memerintahkan dusta. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyuruh umatnya menipu dengan dalih menebar keberkahan. Tidak ada dalam syariat yang menghalalkan memutarbalikkan fakta, hanya demi membungkus ambisi dan kepentingan pribadi.
Sayangnya, ketika dusta dibungkus agama, yang terjadi bukan sekadar penyesatan, tapi juga penghancuran kepercayaan umat. Mereka yang semula bersemangat bersedekah, kini mulai ragu. Mereka yang percaya pada narasi keberkahan, kini merasa ditipu. Kerusakan ini lebih dalam dari sekadar kebangkrutan finansial—ia menyentuh inti dari keberagamaan itu sendiri.
Maka publik seharusnya tidak diam. Kita harus berani menyebut kebohongan sebagai kebohongan, bahkan jika ia dibungkus jubah putih dan dikutip dari ayat suci. Beragama tidak bisa didasarkan pada mimpi-mimpi kosong, apalagi pada janji sedekah yang beranak pinak dalam bentuk angka-angka bombastis. Kejujuran adalah prinsip iman. Dan keadilan adalah wujud tertinggi dari ketakwaan.
Yusuf Mansur telah mempermainkan keduanya. Dan dalam dunia yang waras, ia seharusnya dimintai pertanggungjawaban.