FusilatNews – Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya siang itu tak tampak berbeda dari biasanya. Namun, pada 30 April 2025, langkah kaki mantan Presiden Joko Widodo menarik perhatian. Jokowi mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) bukan sebagai kepala negara, melainkan sebagai warga negara yang merasa nama baiknya dicemarkan.
Ia melaporkan sejumlah pihak yang dituding menyebarkan informasi palsu mengenai ijazah sarjananya. Tuduhan bahwa Jokowi tak pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada bukanlah isu baru. Namun kali ini, respons Jokowi berbeda. Ia mengambil langkah hukum.
Fusilatnews menelusuri lebih dalam langkah hukum Jokowi ini. Apakah semata-mata membela kehormatan? Ataukah ini pertanda bahwa negara sedang bersiap menutup ruang kritik, seiring dengan bergesernya relasi kekuasaan pasca dia lengser?
Menyisir Bukti dan Prosedur
Polda Metro Jaya menyebut telah mengantongi sejumlah barang bukti. Di antaranya fotokopi ijazah Jokowi, fotokopi sampul skripsi, hingga lembar pengesahan skripsi. Selain itu, penyidik mengamankan satu flashdisk berisi 24 tautan video YouTube dan tangkapan layar konten media sosial X yang memuat narasi tentang dugaan ijazah palsu. Semua sedang dianalisis sebagai bukti dalam laporan pencemaran nama baik.
“Dokumen yang kami dapatkan termasuk hasil legalisasi,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Kamis, 15 Mei 2025. Ia menambahkan, penyidik telah memeriksa 24 saksi. Tiga nama yang disebut cukup mencolok: mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, dokter Tifauzia Tyassuma atau dr. Tifa, dan pengacara senior Eggi Sudjana. Ketiganya dikenal vokal di media sosial dalam meragukan keaslian ijazah Jokowi.
Namun pertanyaan krusial muncul: apakah barang bukti berupa fotokopi dapat membantah tuduhan secara hukum? Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, “Fotokopi tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti, kecuali diperkuat keterangan saksi ahli atau pengesahan dari instansi resmi, seperti UGM.”
Antara Fitnah dan Kebebasan Berpendapat
Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik dan fitnah menjadi landasan aparat dalam mengusut perkara ini. Tambahan ancaman datang dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27 ayat (3) yang kerap digunakan untuk menyeret aktivis atau warganet yang menyuarakan kritik keras.
Di titik ini, kekhawatiran publik bermunculan. Ketua LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan bahwa delik pencemaran nama baik kerap ditarik menjadi alat kekuasaan. “Kritik yang keras terhadap pejabat, apalagi mantan presiden, seharusnya dijawab dengan transparansi, bukan dengan kriminalisasi,” katanya.
Kasus ini menjadi pertaruhan besar antara dua kutub: kehormatan pribadi seorang mantan presiden, dan hak publik untuk mempertanyakan rekam jejak pemimpinnya.
Riak Politik Pascakekuasaan
Langkah Jokowi menempuh jalur hukum ini juga dinilai tidak berdiri di ruang hampa. Sejumlah analis melihatnya sebagai respons terhadap menurunnya citra pasca lengser. Gelombang kritik terhadap kebijakan masa pemerintahannya, terutama soal IKN, utang negara, hingga dugaan nepotisme, terus membesar. “Isu ijazah ini mungkin hanya satu simpul dari kekecewaan yang lebih luas,” ujar pengamat politik dari CSIS, Arya Fernandes.
Namun, apakah benar seluruh narasi ini adalah fitnah semata? Hingga kini belum ada kejelasan publik mengenai bentuk asli ijazah Jokowi yang diverifikasi langsung oleh UGM. Yang tersebar hanyalah potongan legalisir dan salinan pengesahan skripsi. UGM pun selama ini lebih banyak diam, menyatakan bahwa data arsip akademik adalah bagian dari privasi mahasiswa.
Tempo berusaha mengkonfirmasi ke pihak UGM namun belum mendapat respons resmi.
Rekonsiliasi Fakta dan Demokrasi
Perdebatan soal keaslian ijazah Jokowi kini telah beralih menjadi persoalan yuridis. Tapi, di balik aspek hukum, kasus ini memicu debat lebih mendasar: tentang bagaimana negara memperlakukan kritik, dan sejauh mana seorang mantan presiden bersedia membuka data pribadinya demi merawat kepercayaan publik.
Jika kritik dibalas dengan pelaporan, jika pertanyaan publik dibalas dengan jeruji, maka demokrasi sedang mundur perlahan. Jokowi, yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin dari rakyat biasa, hari ini berada di persimpangan: antara menjadi teladan keterbukaan, atau menjadi simbol kekuasaan yang anti kritik.