FusilatNews – Ada satu adagium tua dalam demokrasi yang sehat: pejabat publik adalah milik rakyat, bukan partai. Tapi adagium itu tampaknya asing dalam lanskap politik Indonesia hari ini, yang lebih menyerupai panggung sandiwara partai ketimbang ruang pelayanan publik. Yang terkini: pengarahan tertutup di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, yang menghadirkan para kepala daerah dari partai berlambang banteng itu—dengan seragam merah menyala. Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri hadir memberi arahan. Suasana yang lebih mirip konsolidasi menjelang kongres ketimbang rapat evaluasi pembangunan.
Ganjar Pranowo, Ketua DPP PDI-P, menjawab ringan soal ketidakhadiran Gubernur Jakarta Pramono Anung: “Mungkin nanti Mas Pram ada di lain hari.” Lantas menyusul kalimat penenang: “Belum semua daerah [dipanggil].” Tapi pertanyaannya bukan tentang kehadiran atau ketidakhadiran. Yang patut dipersoalkan adalah kenapa kepala daerah—yang notabene dipilih oleh rakyat dari pelbagai latar belakang politik, agama, dan kelas sosial—masih tunduk pada barisan partai, bahkan di ruang tertutup sekalipun?
Demokrasi Indonesia, jika ditilik dari praktik ini, sedang dirusak oleh sistem yang absurd. Ia bukan parlementer, tapi juga belum benar-benar presidensial. Di pusat, partai-partai menjalin koalisi pragmatis yang tujuannya tak lebih dari mempertahankan kekuasaan. Di daerah, mereka bersaing brutal dalam pilkada. Hari ini lawan, besok sekutu. Sistemnya kacau; bukan karena konstitusinya, tapi karena kebiasaan buruk yang dibiarkan hidup dan berkembang.
Pejabat publik seharusnya melayani rakyat, bukan menghamba pada arahan ketua umum. Ketika Megawati hadir dan semua kepala daerah dari PDI-P berkumpul—apa yang dibicarakan? Soal program rakyat? Atau strategi politik 2029? Kita tidak tahu. Tapi kerahasiaan forum itu justru menimbulkan kecurigaan. Mengapa rapat kepala daerah dihelat di sekolah partai, bukan di kantor pemerintahan?
Beginilah kalau garis batas antara negara dan partai dikaburkan. Ketika rakyat memilih seorang gubernur, yang mereka harapkan adalah pengabdian penuh tanpa embel-embel bendera. Tapi dalam praktik, pejabat publik masih dipaksa menyembah pada altar partai.
Maka sudah saatnya kita menyuarakan desakan ini: ketika sudah menjadi pejabat publik, lepaskanlah atribut partai. Tak ada ruang untuk loyalitas ganda. Rakyat butuh pelayan, bukan perpanjangan tangan ketua umum.
Dan ya, kita memang hidup dalam sistem yang rusak. Tapi yang lebih menyedihkan adalah: sebagian besar dari kita menganggapnya normal.