OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Rendahnya penyerapan masyarakat terhadap beras stabilisasi pasokan dan harga pangan menggambarkan berbagai macam alasan. Apakah disebabkan masyarakat sedang mengetatkan ikat pinggang, karena daya beli yang semakin merosot atau ada sebab lain, yang masih butuh penganalisaan lebih jauh lagi.
Yang pasti berdasar data yang disampaikan Perum Bulog, realisasi penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) oleh Perum Bulog hingga 11 Januari 2025 baru mencapai 9.367 ton atau sekitar 6,24% dari target bulanan sebesar 150.000 ton. Masih rendahnya realisasi penyaluran beras SPHP, salah satunya merupakan indikasi dari belum sehatnya ekonomi masyarakat.
Seperti yang dipahami bersama, SPHP merupakan beras yang digelontorkan Perum Bulog dalam kemasan 5 kilogram. SPHP adalah produk intervensi pemerintah, bertujuan untuk melindungi daya beli dan keterjangkauan harga pangan bagi konsumen. SPHP merupakan jawaban terhadap melesatnya harga beras di pasar, ketika bangsa ini terjebak dalam “darurat beras” beberapa waktu lalu.
Beras SPHP ditujukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan, bukan untuk diperjualbelikan secara komersial. Meskipun dapat dijual bebas dengan harga eceran tertinggi (HET), Pemerintah menekankan bahwa beras SPHP tidak bisa serta-merta disalurkan ke pengecer. Perlu ada permintaan dari pihak pengecer agar beras SPHP bisa disalurkan oleh Bulog.
Latar belakang digelindingkan beras SPHP oleh Pemerintah lebih ditujukan untuk membantu masyarakat kelas menengah yang cukup kerepotan karena melejitnya harga beras medium di pasar. Keinginan Pemerintah untuk menurunkan harga beras agar kembali ke harga wajar, terekam sulit untuk diwujudkan. Padahal, Presiden sendiri, saat itu telah turun tangan.
Presiden telah menugaskan para pembantunya untuk segera mengembalikan harga beras di pasar ke tingkat harga wajar. Maksudnya, wajar bagi petani selaku produsen. Wajar bagi pedagang dan wajar bagi masyarakat selaku konsumen. Sayang, harapan itu tidak terwujud. Harga beras tetap tinggi, bahkan terkesan enggan untuk turun ke harga yang wajar.
Jika dicari apa yang menjadi penyebab utama melesatnya harga beras di pasar, maka jawabannya jelas, karena beras di dalam negeri memang tidak ada. Produksi beras yang menurun, apakah itu disebabkan oleh adanya sergapan El Nino atau karena tata kelola perberasan yang masih amburadul, yang pasti harga beras tetap naik. Banyak pihak menyebut, kenaikan nya sangat ugal-ugalan.
Lebih mencengangkan lagi, ternyata dalam waktu yang bersamaan, cadangan beras Pemerintah pun belum mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Hasrat untuk memiliki cadangsn beras sekitar 1,5 – 2 juta ton, kelihatannya, masih sulit diwujudkan. Rendahnya cadangan beras Pemerintah, membuat kesulitan untuk melakukan intervensi pasar.
Masalahnya menjadi semakin “pabaliut” (runyam), ketika Pemerintah membutuhkan beras untuk Program Bantuan Beras Langsung bagi 22 juta rumah tangga sebesar 10 kg per bulan, yang harus dilakukan selama 12 kali. Program ini sepertinya tidak mungkin ditunda-tunda pelaksanaannya. Akibatnya, Pemerintah terpaksa membuka lagi kran impor beras yang selama ini tertutup rapat.
Namun begitu, kalau kita ikuti data yang dirilis Badan Pusat Statistik, jumlah produksi beras yang dihasilkan dibandingkan dengan konsumsi masyarakat, sebetulnya kita masih surplus. Yang perlu jadi catatan, jumlah surplusnya semakin menyusut. Bila tidak ada langkah cerdas menggenjot produksi setinggi-tingginya, bisa jadi kita akan defisit.
Apa yang kita alami sekitar dua tahun lalu, sepertinya tidak ingin kita ulangi lagi di tahun 2025. Jalan keluar mengandalkan impor beras, jangan dijadikan kebiasaan dalam menjawab kisruh perberasan. Impor beras, sebaiknya tetap dijadikan pilihan terakhir. Prioritasnya tetap kepada hasil produksi petani dalam negeri dan kekuatan cadangab beras Pemerintah.
Terlepas dari apa yang menjadi alasannya, Menko bidang Pangan Bung Zulkufli Hasan telah mengumumkan untuk tahun 2025, Pemerintah akan menyetop impor beras, impor jagung untuk kebutuhan pakan ternaik, impor gula konsumsi dan impor garam. Khusus untuk menyetop impor beras, tentu saja menarik untuk dibincangkan, karena produksi beras nasional 2024, ternyata anjlok dan lebih rendah dari produksi beras nasional tahun 2023.
Salah satu faktor penting agar semangat menyetop impor beras 2025 menjadi kenyataan adalah terkait dengan kondisi iklim dan cuaca. Selama iklim dan cuaca berpihak ke pertanian, kita boleh optimis, kehendak menyetop impor beras bakal menjadi kenyataan. Tapi, kalau iklim dan cuaca tidak berpihak, sebaiknya kita perlu siap-siap mencari pilihan untuk memperoleh beras.
Demikian sekilas tentang latar belakang, mengapa Pemerintah melalui Perum Bulog menggelindingkan Beras SPHP. Pemerintah ingin agar masyarakat golongan menengah tidak kesulitan mendapatkan bahan pangan pokok karbohidrat, untuk menyambung nyawa kehidupannya. Sedangkan untuk golongan masyarakat yang kurang diuntungkan dengan adanya pembangunan, telah dikucurksn program bantuan langsung beras.
Jika mencermati data penyaluran beras SPHP yang baru mencapai 6,24 %, tentu saja dapat mengundang banyak tafsir, sekiranya ada pertanyaan, mengapa penyaluran beras SPHP relatif rendah. Beberapa catatan yang disampaikan diatas, diharapkan mampu membuka wacana baru tentang Beras SPHP ini. Sepertinya, Beras SPHP masih diperlukan untuk terus disalurkan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).