Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum dan Kebijakan Politik
Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah genuine keturunan raja. Selain cerdas, bisa dipastikan bahwa beliau telah memantau sepak terjang Jokowi secara saksama selama satu dekade terakhir. Jokowi, yang pada akhirnya mengkhianati Megawati Soekarnoputri—anak Proklamator sekaligus Ketua Umum PDIP yang mengusungnya selama dua periode sebagai Presiden RI—menjadi bukti nyata bahwa Jokowi memiliki kepentingan mendasar yang kompleks. Sri Sultan, yang juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tentu waspada terhadap pola perilaku Jokowi yang kerap berbeda antara kata di depan dan tindakan di belakang.
Beberapa rumor yang bocor ke publik menambah daftar keprihatinan. Misalnya, seorang tokoh politik yang berpindah partai karena dijanjikan “angin surga,” namun pada akhirnya hanya menerima pepesan kosong. Bahkan, rahasia empat mata yang disampaikan kepadanya justru dibocorkan kepada pihak lain. Dalam hal divide et impera, Jokowi bisa dikatakan sebagai nomor satu. Ia mencerminkan sosok pemimpin yang hipokrit dan tidak dapat dipercaya.
Khianat Berulang Menjelang Pilpres 2024
Ketegangan antara Jokowi dan Megawati makin memuncak menjelang Pilpres 2024. Jokowi, yang berambisi mempertahankan kekuasaan untuk periode ketiga, justru mendapat penolakan dari Megawati. Respons Jokowi tidak kalah sungsang—marah dan kembali berkhianat. Langkah ini semakin memperlihatkan hasrat egonya yang besar untuk tetap berkuasa, bahkan jika harus menggunakan Sidang Istimewa MPR guna mengubah Pasal 7 UUD 1945 terkait batas jabatan presiden.
Namun, realitas politik menunjukkan bahwa Jokowi kini menghadapi tekanan hebat. Isu post-power syndrome dan berbagai kontroversi—mulai dari dugaan ijazah palsu hingga kasus nepotisme yang menyeret keluarganya—semakin melemahkan posisinya. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, juga tak lepas dari kritik tajam, termasuk terkait kasus “akun Fufu-Fafa” dan berbagai dugaan manipulasi pendidikan.
Langkah Jokowi dan Gibran: Antara Mundur dan Bertahan
Jokowi tampaknya tengah mempertimbangkan opsi agar Gibran mundur demi menyelamatkan nama baik keluarga. Desakan ini kemungkinan datang dari lingkaran oligarki yang khawatir akan dampak hukum terkait kasus-kasus KKN yang melibatkan keluarga Jokowi. Meski demikian, langkah ini tidak menjamin bahwa Jokowi dan keluarganya akan terbebas dari proses hukum.
Selain itu, Jokowi disebut-sebut mulai mendekati Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk membahas “barter politik” terkait posisi Wakil Presiden. Hal ini memperlihatkan bahwa Jokowi menyadari keterbatasan kemampuan Gibran sekaligus kondisi politik yang kini tidak lagi sepenuhnya berpihak kepadanya.
Fenomena Politik “Dorna”
Jokowi, yang kerap beraksi layaknya “Dorna”—licik, sombong, dan tanpa malu—tampaknya semakin kehilangan pijakan politiknya. Proyek-proyek seperti IKN, PSN, dan kebijakan lainnya terancam berantakan. Rakyat pun semakin terbebani dengan kenaikan pajak hingga 12%, sementara hasil pembangunan tidak sebanding dengan anggaran yang telah digelontorkan.
Solusi di Tengah Krisis
Sebagai solusi, nama-nama seperti Puan Maharani, Hasto Kristiyanto, hingga Anies Baswedan muncul sebagai calon pengganti Gibran. Namun, siapa pun yang akan dipilih harus melalui proses hukum dan politik yang sesuai konstitusi. Lebih dari itu, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata, tanpa terjebak pada politik transaksional atau pengampunan hukum yang melanggengkan kejahatan masa lalu.
Penutup
Nasib Jokowi dan keluarganya kini menjadi sorotan publik. Banyak pihak menantikan apakah Jokowi akan dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hukum selama masa jabatannya. Hanya waktu yang akan menjawab, namun yang jelas, publik tidak akan diam menyaksikan fenomena seorang politikus “Dorna” yang kini tengah terkapar.