**Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212**
Dalam konteks politik yang dinamis saat ini, tidak sulit membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Presiden Jokowi dan keluarganya. Terlebih lagi, publik terus mempertanyakan gelar insinyur yang disandang Jokowi, yang dituding sebagai hasil pemalsuan identitas. Tuduhan ini menyangkut unsur delik pidana pemalsuan, di mana Jokowi diduga menggunakan ijazah palsu dari Fakultas Kehutanan UGM demi mencalonkan diri dalam Pilkada Surakarta. Dugaan ini mengarah pada motif ekonomi dan kekuasaan, dengan keuntungan pribadi, keluarga, serta kelompok oligarki sebagai sasarannya. Korban dari skenario ini? Seluruh bangsa Indonesia, termasuk lembaga pemerintahan yang kini terperangkap dalam skandal ini.
Untuk putranya, Gibran Rakabuming Raka, ancaman juga nyata. Jika Menteri Pertahanan Prabowo Subianto benar-benar ingin mencopot Gibran dari posisi bakal calon Wakil Presiden RI, jalannya cukup sederhana dan konstitusional. Salah satunya melalui kasus “fufu fafa,” yang jika dilaporkan ke pihak berwenang, dapat menjerat Gibran hingga penjara. Namun, langkah ini berpotensi menciptakan kekacauan yang lebih besar, termasuk pengumuman kondisi darurat nasional, yang pada akhirnya merugikan seluruh bangsa.
Situasi menjadi semakin tegang ketika Jokowi, yang mungkin merasa putus asa, diduga siap menggunakan taktik keras seperti memicu kerusuhan melalui kelompok pendukung setianya. Hal ini dilakukan sebagai respons terhadap tekanan politik yang kian kuat, termasuk dari partainya sendiri, PDIP, yang kini berada di bawah bayang-bayang Megawati.
Contoh paling mencolok dari respons Jokowi terhadap tekanan ini adalah upayanya mengganti Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala BIN. Meskipun hanya tersisa tiga hari masa jabatan Jokowi, dia tetap memaksakan pencopotan BG dan mengangkat penggantinya, M. Hendirda, setelah lolos uji kelayakan DPR. Langkah ini tidak masuk akal secara politis, mengingat waktu yang sangat terbatas dan ketidakmampuan Jokowi memberikan alasan yang logis. Spekulasi menyebutkan bahwa keputusan ini terkait bocornya informasi akun “fufu fafa” milik Gibran, yang diduga diperoleh dari analisis ahli telematika Dr. Roy Suryo.
Namun, alasan resmi pencopotan BG dari Kepala BIN tidak pernah dijelaskan secara terbuka oleh Jokowi. Justru, ia mencoba memainkan peran sebagai korban, dengan menyatakan bahwa pencopotan BG adalah keinginan Prabowo. Tindakan ini menunjukkan kekacauan dalam strategi politik Jokowi, yang kini semakin terpojok oleh eks partai tempatnya dibesarkan, PDIP, yang menolak setiap upaya rekonsiliasi.
Dengan Megawati dan PDIP menolak ajakan damai Jokowi, presiden yang sudah berada di ujung masa jabatannya ini memilih jalur konfrontasi dengan mempolitisasi kasus Harun Masiku untuk menekan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Namun, upaya ini juga gagal, memperburuk citra Jokowi di mata publik.
Setelah 20 Oktober 2024, dengan Prabowo resmi menjabat sebagai Presiden, arah politik akan berubah secara signifikan. Prabowo diyakini memiliki lebih banyak kepentingan politik dengan PDIP dibandingkan dengan Jokowi, sehingga tidak mustahil akan menerima “pra-syarat” dari Megawati untuk menggantikan Gibran sebagai Wakil Presiden. Dalam skenario ini, pengganti Gibran kemungkinan besar adalah kader PDIP, dan Budi Gunawan bisa saja menjadi salah satu calon kuat.
Jika skenario ini terjadi, kita akan menyaksikan fase politik yang penuh prahara, dengan Jokowi yang kehilangan kekuasaan dan taring politiknya, serta oligarki pro-Jokowi yang tergeser oleh kekuatan baru di bawah pemerintahan Prabowo.