OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Beberapa buku menulis, gabah adalah biji padi yang belum diproses menjadi beras. Gabah adalah hasil panen padi yang masih memiliki kulit ari atau sekam. Kulit ari ini harus dihilangkan melalui proses penggilingan atau pengupasan untuk mendapatkan beras.
Gabah sendiri, memiliki beberapa karakteristik, antara lain, gabah berbentuk seperti biji padi dengan kulit ari yang masih menempel; mmemiliki warna coklat kekuningan; memiliki tekstur yang keras dan kering;
mengandung karbohidrat, protein, dan lemak.
Gabah memiliki beberapa manfaat, antara lain: bahan baku beras: Gabah adalah bahan baku utama untuk membuat beras; dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif dan
dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.
Lalu, apa yang dosebut dengan gabah berkualitas ? Gabah berkualitas adalah gabah yang memiliki karakteristik yang baik dan memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Berikut adalah beberapa kriteria yang menentukan kualitas gabah, pertama gabah berkualitas memiliki kadar air yang rendah, yaitu sekitar 20-25%. Kedua, memiliki kadar sekam yang rendah, yaitu sekitar 10-15%.
Ketiga, memiliki kadar biji patah yang rendah, yaitu sekitar 5-10%. Keempat, memiliki kadar kotoran yang rendah, yaitu sekitar 1-2%. Kelima, memiliki warna yang seragam dan tekstur yang keras. Keenam, memiliki kadar protein yang tinggi, yaitu sekitar 7-8%. Dan ketujuh, memiliki kadar amilosa yang tinggi, yaitu sekitar 20-25%.
Gabah berkualitas memiliki beberapa kelebihan, antara lain menghasilkan beras yang berkualitas; memiliki harga jual yang lebih tinggi; lebih tahan lama dalam penyimpanan dan memiliki nilai gizi yang lebih tinggi. Dalam kaitannya dengan penyerapan Perum Bulog 3 juta ton setara beras, gabah berkualitas menjadi penentu kisah sukses program ini dijalankan.
Dilihat dari sisi kepemilikan, gabah dan beras memiliki dunia yang berbeda. Gabah umumnya berada dalam “kekuasaan” petani padi, sedangkan beras dikuasai oleh para pedagang atau pengusaha beras. Adanya perbedaan kepemilikan ini, membuat gabah dan beras, mempunyai karakter masing-masing, khususnya yang berkaitan dengan tingkat harga jual di pasaran.
Gabah, baik gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG), seringkali muncul menjadi perbincangan menarik ketika ada berita harganya anjlok di saat panen raya berlangsung. Fenomena seperti ini, telah berlangsung sejak lama. Kita tidak tahu dengan pasti, mengapa masalah ini terekam sulit untuk dituntaskan. Persoalannya selalu berulang dari waktu ke waktu.
Melorotnya harga gabah di tingkat petani ini, walau pun harganya masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional No. 4 Tahun 2024, sepertinya belum mampu menjadikan para petani merasakan kegembiraan yang maksimal. Petani padi tetap kecewa dengan tingkat harga yang terjadi.
Ada pengalaman menarik untuk dibincangkan. Beberapa waktu lalu, dipenghujung tahun 2023, para petani banyak yang riang gembira, karena harga GKP mampu menembus angka Rp. 7000,- per kilo gram dan harga GKG melewati angka Rp. 8250,- per kg nya. Catatan kritisnya adalah apakah kenaikan ini memang diatur oleh Pemerintah, karena adanya kecintaan yang mendalam terhadap petani, atau ada faktor lain yang perlu kita cernati lebih seksana.
Kita sendiri tidak mungkin akan menampik jika ada pandangan yang menyatakan, hal ini tercipta, karena ketersediaan beras di masyarakat sudah mengalami penurunan cukup signifikan. Semua ini terjadi, karena ada dampak nyata El Nino yang sangat sulit dihindari sergapannya. Produksi beras menurun, otomatis harga gabah dan beras di pasar melonjak cukup tinggi.
Yang penting didalami lebih lanjut, apakah rasa senang petani harus ditebus dengan menurunnya produksi ? Jawabnya tegas, mestinya tidak. Rasa riang petani, karena mereka mendapat harga gabah yang wajar. Suasana ini, tentu bisa dirancang Pemerintah, selama ada kemauan untuk mewujudkannya. Sebagai teladan, mengapa Pemerintah kala itu tidak segera melahirkan HPP Gabah yang disesuaikan dengan suasana kekinian ?
Cepat tanggap ini, seharusnya menjadi karakter Pemerintah dalam menyikapi perkembangan dan kejadian yang tercipta di masyarakat. Mengapa ketika itu, Pemerintah tidak segera bersikap, manakala harga gabah di pasaran sudah melewati angka Rp. 7000,- per kg, sedangkan HPP Gabah sendiri masih di patok pada angka Rp. 6000,- per kg. Ini yang memilukan dan jadi tanda tanya besar.
Suara petani padi yang merasa senang dengan harga gabah diatas angka Rp. 7000,- per kg sendiri, sebetulnya telah disampaikan langsung kepada para penentu kebijakan ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah. Dengan suara lantang, para petani padi mengemukakan keriangannya kepada pemimpin bangsa, mengingat harga jual gabah di pasar mampu memenuhi harapannya.
Persoalannya, mengapa suara hati petani yang demikian, terkesan kurang dicermati oleh Pemerintah ? Ini yang cukup menyedihkan. Bayangkan, ketika petani bersuara pun responnya hampir tidak ada, apalagi jika para petani padi tidak bersuara. Padahal, langkah menetapkan HPP Gabah yang sesuai dengan aspirasi petani merupakan bukti nyata atas kepedulian dan keberpihakan Negara atas kata hati warga bangsanya.
Sekalipun banyak pandangan agar para petani berganti status dari “petani gabah” menjadi “petani beras”, namun untuk beberapa tahun ke depan, hal ini lebih mengedepan sebagai sebuah semangat dan belum mampu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, bila kita mendalami dunia gabah, maka sejatinya kita membedah soal nasib dan kehidupan para petani padi.
Semua orang tahu, gabah adalah miliknya petani. Setiap panen, petani selalu menjual hasil panennya dalam bentuk gabah. Petani belum memiliki fasilitas untuk mengubah gabah menjadi beras. Padahal, kalau petani memiliki fasilitas untuk mengolah gabah menjadi beras, maka nilai tambah ekonomi yang diterima petani dari usahatani padinya, akan semakin tinggi. Otomatis, pendapatan petani pun akan semakin meningkat.
Bila kita ingin melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani padi, maka yang utama harus dilakukan adalah sampai sejaih mana Pemerintah mampu menciptakan harga jual gabah yang wajar di tingkat petani. Ini penting, mengingat apalah artinya produksi yang meningkat, jika saat panen berlangsung, harga jual gabahnya anjlok, karena adanya permainan oknum-oknum tertentu, yang amat doyan memainkan harga di saat panen.
Pengendalian harga gabah yang ditempuh lewat Harga Pembelian Pemerintah, tampak masih belum efektif, jika dan hanya jika, tidak dilakukan penyesuaian dengan suasana yang tengah terjadi. Contoh dan fenomena harga gabah paska El Nino yang digambarkan diatas, jelas memberi sinyal, betapa lambatnya Pemerintah bertindak dalam menjawab persoalan yang ada. Ini, betul-betul sangat disesalkan.
Dengan kewenangan yang digenggamnya, Pemerintah mestinya cepat bergerak untuk segera mencari jalan keluar atas “tabrakannya” kepentingan antara aspirasi petani dengan fakta kehidupan yang tercipta. Problem ini akan terselesaikan, seandainya Pemerintah cukup pro aktif melahirkan kebijakan, program dan kegiatan yang langsung menjawab akar persoalannya. Ini yang belum mampu kita lakukan dengan baik.
Dunia Pergabahan, bukan sebuah kehidupan yang penuh dengan misteri. Selama kita serius mengelola dan mengedepankan keberpihakan kepada petani, maka selama itu pula nasib dan kehidupan petani padi akan semakin bermartabat. Sebaliknya, jika kita tidak sungguh-sungguh menggarapnya, maka petani padi akan tetap menderita dan semakin ditinggalkan oleh kaum muda. Disini peran Perum Bulog sebagai lembaga parastatal betul-betul sangat dimintakan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).