Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Jika ada upaya pembunuhan karakter terhadap presiden melalui kelangkaan gas melon 3 kg, maka pelakunya dapat dengan mudah ditebak. Berdasarkan analisis politik ekonomi, indikasi tersebut mengarah pada sisa-sisa kekuatan politik oligarki era Jokowi yang merasa terganggu bisnisnya atau bahkan khawatir kehilangan dominasi akibat kehadiran oligarki baru (newcomer). Fenomena ini mencerminkan perang oligarki dalam ranah politik dan ekonomi.
Analisis atas dinamika perang oligarki dari sudut pandang politik, ekonomi, dan hukum menunjukkan bahwa beberapa sektor bisnis yang berkembang di era Jokowi kini mengalami hambatan, antara lain:
- Program PSN PIK 2 yang diduga melibatkan kongkalikong antara Jokowi dan Aguan Cs menghadapi hambatan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.
- Program IKN Jokowi di Penajam, Kalimantan Timur, dihentikan sementara sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Rini Widyantini, tanpa batas waktu yang jelas.
- Program TAPERA, yang dinilai dapat merugikan rakyat, ditolak oleh Presiden RI, Prabowo Subianto.
Dengan demikian, keputusan politik dan ekonomi yang diterapkan pada era Jokowi kini dibatasi atau bahkan dihentikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Maka, jika muncul upaya pembunuhan karakter terhadap Presiden Prabowo, mudah untuk menebak siapa aktor di baliknya.
Saat ini, opini publik berkembang bahwa upaya pembunuhan karakter terhadap presiden dilakukan melalui pembatasan distribusi gas melon 3 kg. Bahkan, dampaknya telah nyata dengan adanya korban jiwa di Pamulang, Tangerang Selatan, di mana seorang ibu meninggal dunia saat antre membeli gas.
Secara politik dan hukum tata negara, pembatasan gas melon yang diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dinilai sebagai kebijakan yang bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo. Presiden telah memerintahkan agar pengadaan dan distribusi gas 3 kg dibuka kembali secara luas.
Dengan demikian, siapapun yang bertanggung jawab atas kebijakan yang menimbulkan keresahan di masyarakat dan berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap Presiden RI kini telah teridentifikasi. Namun, kemungkinan adanya perlawanan dari oligarki lama (old oligarchy) masih terbuka.
Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Kabinet Merah Putih (KMP) terkait polemik PSN PIK 2, pemindahan ASN ke IKN, program TAPERA, serta distribusi gas 3 kg, merupakan keputusan politik yang mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Langkah-langkah ini memperlihatkan keberanian Prabowo dalam menghadapi tantangan yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.
Dari rangkaian peristiwa politik dan ekonomi di tanah air, siapa penggerak di balik kelangkaan gas melon untuk membunuh karakter Presiden Prabowo dapat dengan mudah diprediksi. Dugaan mengarah pada oligarki era Jokowi dan kelompok konglomerat Aguan Cs, yang berusaha mempertahankan dominasi bisnis mereka.
Motif pembunuhan karakter ini juga dapat dikaitkan dengan ambisi politik tertentu, termasuk kemungkinan adanya skenario untuk mempercepat naiknya Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke kursi kepresidenan. Hal ini mengingat bahwa Gibran menduduki posisi RI 2 melalui proses hukum yang kontroversial, termasuk pelanggaran usia dalam aturan pemilu dan dugaan nepotisme dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Anwar Usman, pamannya sendiri. Putusan MK tersebut berujung pada pemecatan Anwar Usman oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK), yang bersifat final dan mengikat.
Peristiwa politik menjelang Pilpres 2024 ini semakin memperjelas bahwa oligarki lama memiliki kepentingan untuk mempertahankan pengaruh mereka, bahkan jika harus menggunakan taktik kotor seperti pembunuhan karakter terhadap Presiden Prabowo.
Dengan adanya indikasi politik oligarki di balik isu kelangkaan gas melon, dugaan adanya permainan politik kotor terhadap Presiden Prabowo tidak dapat diabaikan begitu saja.
Catatan: Pengamat KUHP adalah pakar dalam bidang Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan Peran Serta Masyarakat.