Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, melontarkan kritik keras terhadap revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Revisi ini memberi DPR kewenangan untuk mengevaluasi dan bahkan merekomendasikan pemberhentian pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Bagi Palguna, langkah ini mencerminkan ketidakinginan DPR untuk menegakkan hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, melainkan hanya atas kehendak dan kepentingan politik mereka sendiri.
Tata Tertib DPR: Kekuasaan yang Melampaui Batas
DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki kewenangan untuk membuat aturan internal guna mengatur mekanisme kerja mereka. Namun, dalam teori hukum tata negara, aturan internal seperti tata tertib hanya berlaku bagi anggota DPR sendiri dan tidak bisa mengikat lembaga lain di luar lingkup DPR. Pernyataan Palguna yang menyebut bahwa tata tertib DPR tidak bisa mengikat keluar adalah kritik fundamental terhadap revisi ini. Jika DPR tetap bersikeras menerapkan aturan yang melampaui batas kewenangannya, hal ini dapat diartikan sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum.
Dalam sebuah negara demokrasi, pemisahan kekuasaan (separation of powers) menjadi prinsip utama untuk menjaga keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Revisi tata tertib ini berpotensi menciptakan dominasi legislatif atas yudikatif dan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika DPR bisa memberhentikan hakim konstitusi, hakim agung, dan pimpinan KPK, maka independensi lembaga-lembaga ini terancam. DPR tidak lagi sekadar menjalankan fungsi pengawasan, tetapi mengambil alih peran yang semestinya menjadi ranah yudikatif dan eksekutif.
Ketidaktahuan atau Kesengajaan?
Palguna mempertanyakan pemahaman hukum anggota DPR terkait hierarki norma hukum, pemisahan kekuasaan, dan checks and balances. Seorang mahasiswa hukum semester tiga pun memahami bahwa tata tertib DPR tidak bisa mengikat institusi lain. Jika DPR tetap memaksakan aturan ini, pertanyaannya adalah: apakah mereka tidak memahami teori hukum dasar, atau justru dengan sadar melakukan hal ini demi kepentingan politik?
Jika yang terjadi adalah ketidaktahuan, maka ini merupakan indikator rendahnya kualitas legislasi di Indonesia. Namun, jika ini adalah kesengajaan, maka revisi tata tertib DPR ini bukan sekadar penyimpangan hukum, melainkan sebuah upaya sistematis untuk memperluas kekuasaan DPR secara tidak sah. Dengan kata lain, ini adalah bentuk otoritarianisme terselubung yang disamarkan melalui peraturan perundang-undangan.
Implikasi: Negara di Bawah Kuasa Politik DPR?
Jika tata tertib DPR yang baru ini diterapkan, implikasinya sangat berbahaya. Lembaga yang seharusnya independen seperti MK, MA, dan KPK akan berada dalam bayang-bayang kepentingan politik DPR. Hakim-hakim konstitusi yang semestinya menegakkan keadilan berdasarkan hukum, bisa diberhentikan jika keputusannya tidak sejalan dengan kehendak DPR. Pimpinan KPK yang bertugas memberantas korupsi dapat dicopot jika mengusik kepentingan politik tertentu. Dengan demikian, DPR berpotensi mengendalikan semua aspek kekuasaan negara.
Palguna bahkan menyebut bahwa jika DPR tetap memaksakan aturan ini, maka negara ini akan rusak. Pernyataan ini bukan sekadar hiperbola, melainkan peringatan serius. Jika prinsip negara hukum dilangkahi oleh kepentingan politik, maka yang terjadi bukan lagi demokrasi, melainkan oligarki yang terselubung di balik legitimasi hukum.
Kesimpulan
Revisi tata tertib DPR ini bukan sekadar masalah prosedural, tetapi ancaman serius bagi independensi lembaga negara dan prinsip negara hukum. Jika DPR diberi kewenangan untuk memberhentikan hakim konstitusi, hakim agung, dan pimpinan KPK, maka mekanisme checks and balances akan hancur. Kekuasaan DPR menjadi absolut dan tidak terkendali, menciptakan situasi di mana hukum bukan lagi menjadi panglima, melainkan sekadar alat kepentingan politik.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap lembaga negara harus bekerja dalam batas kewenangannya sesuai dengan konstitusi. Jika DPR terus memaksakan revisi tata tertib ini, maka rakyat harus waspada terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak fondasi demokrasi di Indonesia.