Jakarta – Fenomena pengambilalihan partai politik di Indonesia telah menjadi tren yang mengkhawatirkan, memperlihatkan bagaimana kepentingan individu atau kelompok bisa mengguncang fondasi partai-partai besar yang selama ini menjadi pilar demokrasi. Dari Partai Demokrat yang pernah hampir diambil alih oleh Moeldoko, hingga PSI yang kini dikendalikan oleh Kaesang Pangarep, setiap peristiwa ini mencerminkan betapa rapuhnya stabilitas internal partai-partai tersebut.
Kasus yang paling mencolok adalah Partai Demokrat, di mana Moeldoko, seorang mantan panglima TNI, mencoba mengambil alih kepemimpinan partai tersebut melalui kongres luar biasa yang kontroversial. Meskipun upaya ini gagal berkat perlawanan yang gigih dari kader-kader loyalis, namun dampaknya telah meninggalkan luka yang mendalam pada partai tersebut.
Tidak hanya Demokrat, Golkar juga tidak luput dari upaya kooptasi. Partai yang pernah menjadi mesin politik paling kuat di era Orde Baru ini terus menghadapi tekanan internal dan eksternal yang berpotensi melemahkan posisinya. Di sisi lain, PPP, yang pernah menjadi salah satu kekuatan utama dalam politik Islam di Indonesia, kini hancur lebur akibat friksi internal dan tekanan eksternal.
Fenomena ini juga merambah ke partai yang lebih muda seperti PSI, yang kini berada di bawah kendali Kaesang Pangarep. Keputusan untuk menyerahkan kendali partai ini kepada figur muda dengan latar belakang yang kuat secara politik dan ekonomi, menunjukkan bagaimana kekuatan eksternal bisa dengan mudah masuk dan mempengaruhi arah kebijakan partai.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah fenomena yang sedang terjadi pada PKS, partai yang selama ini dikenal dengan militansinya dalam mempertahankan ideologi dan prinsip-prinsip Islam. PKS, yang sebelumnya berdiri teguh sebagai oposisi, kini tiba-tiba harus bergabung dengan Partai-partai koalisi KIM Plus. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah PKS larut dalam arus kepentingan musuh-musuh politiknya, atau apakah ada faktor lain yang memaksa partai ini untuk berkompromi.
Daya rusak dari fenomena ini sangat dahsyat, menggerogoti fondasi partai-partai yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat. Ketika partai-partai politik yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi malah terjerumus dalam permainan kekuasaan yang kotor, maka rakyatlah yang akan menjadi korban sesungguhnya.
Situasi ini memperlihatkan betapa pentingnya menjaga integritas dan kedaulatan partai politik dari upaya pengambilalihan oleh pihak-pihak yang hanya mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Jika tidak, masa depan demokrasi di Indonesia bisa menjadi suram, dengan partai-partai politik yang hanya menjadi alat bagi para dalang di balik layar.