Fusilatnews – Di negeri yang mestinya dijaga dengan rasa aman dan rasa adil, justru rakyat sering kali merasa ketakutan ketika berhadapan dengan polisi. Bukan semata karena wibawa seragamnya, melainkan karena trauma kolektif atas rekam jejak yang kelam. Polisi—institusi yang seharusnya berdiri di garda depan melindungi rakyat—terjerembab dalam jurang krisis kepercayaan yang semakin dalam.
Kasus KM 50 menjadi salah satu noda yang sulit dihapus dari memori publik. Enam nyawa melayang, proses hukum berjalan setengah hati, sementara pertanyaan mendasar tentang siapa yang seharusnya dilindungi dan siapa yang sebenarnya ditakuti, tak kunjung mendapat jawaban. Rakyat mencatat tragedi itu bukan hanya sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai simbol betapa mudahnya kekuasaan dipakai untuk menghabisi tanpa pertanggungjawaban.
Beberapa tahun berselang, rasa frustrasi itu kian menumpuk. Tindakan represif polisi terhadap para pemdemo—baik mahasiswa, aktivis, maupun masyarakat sipil—menjadi tontonan yang nyaris rutin. Gas air mata, pentungan, hingga tembakan kerap dilepaskan, seolah aspirasi rakyat dianggap ancaman negara. Padahal, demonstrasi adalah kanal sah demokrasi. Namun, di tangan polisi, protes rakyat sering kali berubah menjadi luka kolektif: darah tertumpah, tulang patah, bahkan nyawa melayang.
Yang terbaru, peristiwa pelindasan driver ojol di Jakarta kembali memicu kemarahan publik. Seorang pengemudi ojek online—warga biasa yang berjuang mencari nafkah—dilindas mobil polisi dalam sebuah insiden yang terekam dan tersebar luas. Alih-alih menampilkan wajah pengayom, tindakan itu seolah menegaskan bahwa rakyat hanyalah objek yang bisa ditindas kapan saja. Tidak sedikit yang menilai: polisi kini lebih menakutkan ketimbang begal.
Lebih menyakitkan lagi, rakyat kecil yang mestinya dilindungi justru kerap menjadi sasaran pungutan liar di jalanan. Dari sopir truk hingga pedagang kaki lima, banyak yang mengeluh harus menyisihkan uang demi menghindari masalah yang sengaja diciptakan aparat. Pungli seakan sudah menjadi tradisi gelap yang dilegalkan dengan seragam. Tak jarang pula muncul cerita bagaimana bandar narkoba, mafia tanah, atau pelaku kejahatan besar justru mendapat perlindungan dari oknum polisi, sementara pencuri kecil dan rakyat miskin ditindak tanpa ampun.
Dari KM 50, aksi represif terhadap demonstran, tragedi ojol, hingga pungli yang mencekik rakyat kecil, benang merahnya jelas: polisi kerap bertindak sebagai pelindung kekuasaan dan kejahatan, bukan pelindung rakyat. Padahal, mandat institusi ini berdiri atas dasar sumpah untuk melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Ironisnya, semakin hari jarak antara rakyat dan polisi semakin lebar, bukan karena rakyat tidak mau percaya, melainkan karena kepercayaan itu terus-menerus dikhianati.
Frustrasi rakyat bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan jeritan dari ketidakberdayaan menghadapi aparat yang seharusnya menjadi sandaran terakhir. Pertanyaan mendasar pun muncul: kepada siapa rakyat harus mengadu ketika justru pelindungnya yang menjadi ancaman?
Hari ini, polisi mungkin masih bisa berlindung di balik narasi resmi, klarifikasi sepihak, atau proses hukum yang kabur. Namun sejarah punya cara sendiri untuk mengabadikan jejak. Bila polisi terus mengabaikan jeritan rakyat, bukan hanya legitimasi yang runtuh, tetapi juga makna keberadaan institusi itu sendiri.























