Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Rabu (16/10/2024), berlangsung debat calon gubernur-wakil gubernur Banten di Auditorium Menara Bank Mega Kompleks Transmedia, Jakarta Selatan.
Dalam sesi tanya jawab, cawagub Ade Sumardi bertanya perihal cara mengatasi tingginya kasus pelecehan seksual yang dialami perempuan dan anak.
“Ini adalah hal yang sangat memprihatinkan”
Untuk itu, pertanyaan saya adalah bagaimana cara mengatasi masalah ini dan bagaimana kepada seorang pelakunya agar dia mendapatkan efek jera?” Tanya Ade Sumardi kepada Dimyati Natakusumah.
“Sepintas, pernyataan Ade ini tidak ada masalah. Tapi dari pernyataan itu terlihat sesungguhnya Ade ini tidak paham juga bagaimana merespons tingginya angka kekerasan seksual. Ketidakpahaman ini terlihat dari pertanyaan, ‘bagaimana agar pelaku kekerasan seksual mendapatkan efek jera’. Padahal, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berorientasi pada pemulihan korban, bukan fokusnya pada tindakan penjeraan pelaku seperti yang Ade sampaikan,” kata Halimah Humayra Tuanaya kepada Fusilatnews.com, Kamis (17/10/2024).
Jadi jelas, kata Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, ini Ade Sumardi tidak paham, dan hanya melempar pertanyaan saja kepada Dimyati sebagai lawan debatnya.
“Menjawab pertanyaan Ade, Dimyati nampak lebih parah ketidakpahamannya, bahkan terkesan Dimyati ini patriarki. Dimyati semula menyebutkan bahwa Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa yang memuliakan wanita akan mendapatkan kemuliaan, tetapi Dimyati ini kemudian menyebutkan, ‘karena itu wanita jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur itu berat lho, luar biasa. Oleh sebab itu, laki-lakilah yang harus membantu memaksimalkan bagaimana memimpin Banten,” paparnya.
Pendapat yang Dimyati sampaikan, menurut Halimah, bukan tujuannya memuliakan perempuan tetapi meremehkan perempuan, menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan kepemimpinan seperti laki-laki.
“Jadi yang ada di pikirannya sebenarnya menganggap perempuan tidak mampu memimpin, tetapi berlindung pada memuliakan perempuan. Ini berbahaya!” cetus Halimah.
“Dimyati, coba Saudara baca Al Baqarah, ‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. Ayat ini sudah jelas, bahwa khalifah berarti setiap manusia berhak menjadi pemimpin tanpa membedakan jenis kelamin,” paparnya.
“Dimyati cobalah membaca sejarah, betapa banyaknya perempuan yang berjasa pada peradaban dunia. Khadijah istri Nabi Muhammad SAW sebelum menikah merupakan seorang tokoh penting, dan saudagar yang sukses. Khadijah memainkan peran sentral dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam. Nusaiba binti Ka’ab Al Anshariyyah atau yang dikenal sebagai Umm ‘Ammara pernah mengambil bagian dalam pertempuran Uhud, membawa pedang dan perisai melawan musuh-musuh Islam,’ lanjut Halimah.
Dalam konteks Indonesia, kata Halimah, ada Laksamana Malahayati dari Aceh, salah satu perempuan paling signifikan dalam sejarah modern awal Asia Tenggara. “Malahayati merupakan seorang tokoh militer dan politik terkemuka di Kesultanan Aceh selama abad ke-16. Dia adalah seorang laksamana terkenal dan memimpin sebuah armada yang sebagian besarnya terdiri dari janda-janda perang Aceh. Malahayati merupakan pemimpin awal perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Asia Tenggara. Salah satu kemenangan terpenting Malahayati adalah kekalahan komandan angkatan laut Belanda Cornelis de Houtman pada tahun 1599. Bangsa kita juga pernah dipimpin Presiden perempuan Megawati Soekarnoputri,” tukasnya.
Jika semua dikemukakan, lanjut Halimah, amat sangat banyak perempuan-perempuan yang telah berjasa, dan sukses dalam kepemipinannya. “Dimyati, bacalah sejarah,” pintanya.
Terakhir, melihat ketidakpahaman kedua calon pemimpin itu, menurut Halimah, penting bagi pemenang Pilkada Banten 2024 agar mengangkat staf ahli yang memahami persoalan kesetaraan gender.