Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Pandangan publik secara luas sudah jelas menyatakan bahwa 02 akan menang dalam pemilu presiden tahun 2024, dengan transparansi yang tinggi. Hampir semua pendukung dari berbagai kubu, termasuk 01, 02, dan 03, menyatakan keyakinan tersebut. Meskipun demikian, masing-masing kubu secara intens melalui media sosial menyuarakan bahwa kandidat mereka adalah yang paling unggul (psikologi perang). Terlebih lagi, dukungan massif terhadap kandidat 01 terlihat dari partisipasi mereka yang mencapai 5-6 juta orang di luar stadion JIS, meskipun jumlah tersebut masih di bawah aksi massa 212 pada tanggal 2 Desember 2016.
Dalam obrolan di warung kopi antara pendukung 01 dan 02, salah satu alasan yang disebutkan untuk memprediksi kemenangan 02 adalah karena adanya kesepakatan kecurangan yang dilakukan oleh pejabat publik, aparatur negara, korporasi (kekuatan oligarkis), serta struktural pejabat publik yang kemudian dilegitimasi melalui regulasi (legitimasi). Hal ini berubah menjadi fungsi kejahatan (criminal function) yang terang-terangan dan optimal karena melibatkan berbagai pihak, termasuk penguasa, pengusaha, dan tim masyarakat, yang kemudian membentuk kelompok (structural crimes committed by public officials), sesuai dengan istilah dalam undang-undang Pemilu yang umum dikenal sebagai pelanggaran struktural, sistematis, dan masif (TSM).
Tuduhan publik tidaklah berdasar pada asumsi semata, karena KPU telah mengakui dua kejahatan yang dilakukan:
- Adanya tindakan “Kejahatan Pemilu” di Taipei dengan pola pemalsuan coblosan pada Desember 2023.
- Adanya suara bodong dalam jumlah yang signifikan, mencapai sekitar 1,2 juta suara.
Meskipun terdapat perbedaan dalam hitungan antara temuan KPU dan temuan masyarakat, ini disebabkan oleh perbedaan metode perhitungan. Publik mengklaim adanya suara kotor sebanyak 54 juta, namun KPU enggan memberikan penjelasan yang transparan meskipun sudah diminta melalui surat oleh publik.
Di antara masyarakat, ada estimasi bahwa pemilu 2024 akan curang, dan banyak yang meyakini bahwa hal ini dapat menyebabkan kekacauan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kepercayaan terhadap pejabat publik. Meskipun masih ada upaya hukum melalui Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK), secara umum publik cenderung apatis dan tidak percaya kepada MK. Terutama mengingat perilaku Anwar Usman yang dianggap memiliki karakter buruk dan dianggap sebagai contoh tipikal dari perilaku tersebut. Publik tetap mempertahankan keyakinannya, karena prediksi yang mereka buat masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan.