Fusilatnews – Aksi-aksi massa di bulan Agustus dan September 2025 telah lewat, namun gema tuntutannya masih terasa—meski tak menggugah. Seruan yang digembar-gemborkan di jalanan hanya berhenti pada satu nama: Prabowo Subianto, presiden yang belum genap setahun duduk di kursi kekuasaan. Seakan-akan republik ini tak memiliki luka lain, tak ada borok yang lebih tua, tak ada catatan hitam yang menunggu untuk diungkap.
Damai Hari Lubis, seorang pengamat hukum dan politik, menyebutnya sebagai “diskursus murahan.” Ia tak sedang mengumbar sinisme, melainkan mengingatkan bahwa politik bisa kehilangan arah ketika tuntutan menjadi personal, ketika kritik kehilangan kedalaman, dan ketika massa dipandu oleh sentimen, bukan nurani.
Sebab, ada begitu banyak isu yang tak disentuh:
Kematian 854 petugas KPPS pada 2019 yang entah kapan akan diselidiki. Tragedi Tol KM 50 yang masih meninggalkan kabut. Dugaan cacat konstitusi dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 yang dilupakan. Pertanggungjawaban kabinet atas ekonomi dan hukum yang mandek. Bahkan kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit yang disebut “miris” pun tak muncul dalam daftar tuntutan.
Semua itu terlewat. Seperti ada saringan yang sengaja dipasang: hanya Prabowo yang dipilih sebagai target, seolah dialah pusat dari segala persoalan bangsa.
Di sinilah Lubis membaca tanda: ada “Geng Solo” di belakang layar. Sebuah frasa yang terdengar lebih seperti bisikan politik ketimbang analisis akademik. Tapi mungkin, justru karena itu ia terasa jujur. Bahwa politik Indonesia hari ini bukan soal struktur, bukan soal sistem, melainkan soal jaringan: siapa mengendalikan siapa, siapa menggerakkan siapa, siapa mengatur arah amarah.
Di bawah bayangan itu, Prabowo didorong untuk tetap tenang. Ia diminta berhati-hati, tidak bereaksi berlebihan, tapi cukup memberi himbauan agar rakyat mewaspadai provokasi.
Namun, pertanyaan yang lebih besar sebenarnya: mengapa bangsa ini begitu mudah diarahkan untuk lupa? Mengapa kita bisa berteriak lantang di satu titik, tetapi bisu di titik lain? Barangkali karena politik memang sering menjadi panggung dengan sutradara tak terlihat. Dan kita, penontonnya, tak pernah benar-benar tahu cerita apa yang sedang dimainkan.






















