“Paling murah itu di Malaysia. Mereka murah banget karena hulunya suffering banget, sehingga di Malaysia itu tidak ada perusahaan migas selain Petronas. Karena harga di hulunya itu murah, perusahaan asing mau investasi ke sana rugi lah,” kata Tutuka saat ditemui di kompleks parlemen, Selasa (29/8)
Jakarta – Fusilatnews – Rencana penaikan harga gas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) bagi pelanggan industri selain penerima harga gas bumi tertentu (HGBT) mengalami tarik ulur yang disebabkan Indonesia masih kalah kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga di Asean.
PGN sebelumnya berencana menaikkan harga gas industri non-HGBT per Oktober 2023, tetapi tidak direstui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang ingin agar harga gas untuk manufaktur tetap ditekan semurah mungkin.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan harga gas di Indonesia, khususnya gas industri, belum bisa semurah di Malaysia.
Di Negeri Jiran, harga gas untuk industri (tetap) berada di rentang US$7,7—US$8,3 per MMBtu, kelistrikan US$6—US$6,58 per MMBtu, sedangkan industri (berdasarkan pasar) US$3,5—US$7,3 per MMBtu.
Di Indonesia, rerata harga gas untuk industri adalah US$8—US$11 per MMBtu, kelistrikan US$6,05 per MMBtu, dan industri tertentu US$6—US$6,52 per MMBtu.
“Paling murah itu di Malaysia. Mereka murah banget karena hulunya suffering banget, sehingga di Malaysia itu tidak ada perusahaan migas selain Petronas. Karena harga di hulunya itu murah, perusahaan asing mau investasi ke sana rugi lah,” kata Tutuka saat ditemui di kompleks parlemen, Selasa (29/8)
Salah satu hal yang menyebabkan harga gas di Malaysia lebih murah daripada di Indonesia, jelasnya, adalah konsep industri minyak dan gas bumi (migas)-nya yang lebih menitik beratkan pada keuntungan di lini hilir, bukan di hulu.
“Jadi setelah ambil di hulu, masuk ke kilang, kalau gas diproses ke LNG atau lainnya, lalu dijual. Di situlah keuntungannya. Hulunya dapat bantuan dari situ.
Namun, perusahaan migas enggak ada yang mau masuk ke hulu karena harganya murah. Di Malaysia tidak ada perusahaan selain Petronas. Kalau kita masih lumayan, ada ENI, Exxon, dan lain-lain. Itu kebijakan pemerintah, tetapi [harga gas] kita juga jangan tinggi-tinggi. Kalau terlalu tinggi, nanti membunuh industri juga,” jelas Tutuka.
Beda Karakter Blok
Di sisi lain, dia mengatakan lapangan gas di Indonesia cenderung tersebar lokasinya. Beberapa koridor memang dapat menghasilkan gas yang murah, tetapi ada juga yang mahal seperti lapangan-lapangan offshore yang ada di Jawa Timur.
“Success ratio–nya tidak sebesar di Sumatra. Lalu, permasalahannya juga berbeda. Di Jawa Timur, di Kangean, itu mulai berair. Itu memunculkan cost. Jadi tiap daerah beda-beda karakteristiknya,” terangnya.
Kementerian ESDM menolak rencana PGN menyesuaikan harga gas untuk industri non-HGBT. Pada prinsipnya, tegas Tutuka, pemerintah menginginkan harga gas lebih murah dan terjangkau nilai ekonomisnya. Itu sebabnya pemerintah menetapkan alokasi gas yang ditujukan bagi industri atau non-HGBT.
“Dia [PGN, ingin] menjual dengan harga yang memberatkan konsumen. Kan kami tidak bolehkan,” tuturnya.
Berdasarkan surat edaran PGN kepada pelanggan gas industri non-HGBT, per 1 Oktober, harga gas untuk pelanggan kategori Gold naik 29,8% bakal menjadi US$11,9 per metric million british thermal unit (MMBtu).
Harga gas untuk pelanggan kategori Silver akan naik 22,5% menjadi US$12 per MMBtu, untuk kategori Bronze 3 bakal naik 34,3% menjadi US$12,3 per MMBtu, sedangkan untuk kategori Bronze 3 akan naik 36% menjadi US$12,5 per MMBtu.
Adapun, untuk pelanggan kategori Bronze 1, kenaikan harga akan berlaku mulai 1 Januari 2024 dengan besaran kenaikan mencapai 66% menjadi Rp10.000 per meter kubik.