Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Gegara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, para veteran kini terlibat “tawuran’. Ada kubu Jenderal TNI Purn Try Sutrisno, ada kubu Jenderal TNI Purn Wiranto.
Veteran secara umum berarti seseorang yang memiliki pengalaman signifikan dan keahlian dalam suatu bidang, misalnya militer.
Awalnya, Try Sutrisno bersama ratusan veteran lainnya yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan kepada MPR agar Gibran yang juga anak sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo dimakzulkan, karena proses pencalonnanya bermasalah.
Usulan itu ditandatangani oleh 103 purnawirawan jenderal (Angkatan Darat), 73 purnawirawan laksamana (Angkatan Laut), 65 marsekal (Angkatan Udara), 91 kolonel, serta diketahui langsung mantan Wapres dan mantan Panglima ABRI, kini TNI itu.
Usulan Try Sutrisno itu seperti membangunkan macan tidur. Mereka ramai-ramai bereaksi membela Gibran. Ada Wiranto, ada Luhut Binsar Pandjaitan, ada Agum Gumelar, dan ada AM Hendropriyono.
Wiranto adalah mantan Panglima ABRI yang dari rezim ke rezim nyaris selalu menempel penguasa. Mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Jokowi hingga kini sebagai Penasihat Khusus Bidang Politik dan Keamanan Presiden Prabowo Subianto.
Luhut adalah mantan Komandan Komando Pendidikan dan Pelatihan (Dankodiklat) TNI AD dengan pangkat terakhir Jenderal Kehormatan, dan kemudian menjadi menteri segala menteri di era Jokowi, dan di era Prabowo ini menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Menantu Luhut, Jenderal Maruli Simanjuntak, kini menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Agum Gumelar adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus yang menjadi menteri di era Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri, dan di era Jokowi menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dengan pangkat terakhir Jenderal Kehormatan.
Agum kini Ketua Umum Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri).
Adapun Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono adalah mantan Dankodiklat TNI AD dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan pernah menjadi menteri di era Gus Dur, dengan pangkat terakhir Jenderal Kehormatan. Diaz Hendropriyono, anaknya, kini menjadi Wakil Menteri Lingkungan Hidup.
Kini, mereka “mengeroyok” Try Sutrisno. Mereka membela Gibran. Gibran, kata mereka, tak bisa dimakzulkan.
Sebenarnya, Pak Try pun paham: Gibran tak bisa begitu saja dimakzulkan. Tapi, moralitas memang harus mereka suarakan. Banyak aturan yang diterabas saat Gibran dicalonkan.
Pak Try juga bukan tidak mendukung Prabowo. Mereka mendukung semua program yang ada di dalam Hasta Cita Prabowo, kecuali proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Pak Try sudah selesai dengan dirinya sendiri. Sejak lengser dari kursi wapres, ia menyingkir dari Istana. Ia tak punya kepentingan politik atau kekuasaan. Yang mereka suarakan murni demi kepentingan bangsa dan negara.
Sebaliknya, Wiranto, Luhut, Agum dan Hendro masih melekat dengan kekuasaan. Tentu ada maksud pragmatis ketika mereka membela Gibran.
Jadi, apa yang disuarakan Wiranto, Luhut, Agum dan Hendro patut diduga demi kue atau sekadar gula-gula kekuasaan.
Ironis pula bagi Wiranto dan Agum. Dulu mereka memusuhi dan mencela Prabowo, kini justru membelanya mati-matian. Seolah Prabowo adalah sosok yang berbeda antara dulu dan sekarang.
Wiranto dan Agum-lah yang memecat Prabowo dari dinas militer, yang kemudian dipulihkan lagi oleh Jokowi.
Kekanak-kanakan
Mereka juga seperti kekanak-kanakan. Tapi itu wajar menurut ilmu psikologi. Namanya regresi.
Ya, perilaku orang lanjut usia (lansia) yang kembali seperti anak kecil (regresi) adalah kondisi di mana orang tua yang sebelumnya berfungsi secara dewasa, mulai menunjukkan perilaku atau sifat kekanak-kanakan.
Dikutip dari sebuah sumber, penyebabnya bisa beragam, mulai dari perubahan fisik dan mental, penurunan fungsi kognitif, hingga gangguan mental seperti demensia atau depresi.
Penurunan kognitif. Seiring bertambahnya usia, otak mengalami perubahan, termasuk penurunan kemampuan kognitif seperti daya ingat, kemampuan berpikir, dan kemampuan motorik.
Lalu, demensia. Kondisi ini menyebabkan penurunan fungsi otak yang dapat memengaruhi perilaku, daya ingat, dan kemampuan berpikir.
Kemudian, gangguan mental. Kondisi seperti skizofrenia atau depresi juga dapat memicu perilaku regresif.
Pun, perubahan fisik. Perubahan fisik, seperti penurunan kekuatan atau kesulitan bergerak, juga dapat menyebabkan perasaan frustrasi dan kecemasan yang dapat memicu perilaku kekanak-kanakan.
Berikutnya, kurangnya dukungan sosial. Tanpa dukungan sosial yang memadai, lansia mungkin kembali ke pola perilaku masa kecil di mana mereka merasa lebih aman saat dimanjakan.
Terkahir, faktor emosional. Perilaku regresif juga bisa menjadi cara lansia untuk mendapatkan perhatian, merasa penting, atau mengatasi perasaan yang sulit.
Alhasil, ketika para veteran yang sudah lansia itu “tawuran”, secara psikologis dapat dimaklumi. Apalagi kalau ada iming-iming gula-gula kekuasaan. Maju tak gentar membela yang “bayar”.