FusilatNews – Tiga sekolah di Kecamatan Magepanda, Sikka, Nusa Tenggara Timur, mendadak diliburkan. Bukan karena bencana atau wabah. Tapi karena negara datang—mewakili kekuasaan, bukan pendidikan.
Selasa pagi, 6 Mei 2025. Ratusan siswa SD Katolik Nangarasong, SD Inpres Kolisia, dan SMP Negeri Kolisia tak masuk kelas. Para guru tak mengajar. Buku-buku ditinggal di rumah. Mereka diminta berbaris di pinggir jalan, membuat pagar betis, memegang bendera kecil, menyambut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dijadwalkan mengunjungi areal persawahan di Desa Kolisia B.
“Sudah kami persiapkan. Anak-anak berdiri sambil pegang bendera,” kata Rina Sengsara Noa, guru SD Katolik Kolisia, kepada Kompas.com. Setelah rombongan wapres lewat, anak-anak langsung dipulangkan.
Tak ada tanya jawab. Tak ada ruang curhat. Padahal mereka ingin bicara. Tentang sekolah tanpa meja cukup, kursi reyot, dan buku seadanya. Tentang mimpi yang tumbuh dalam sempitnya fasilitas.
Tapi suara itu tak sampai. Sebab tugas hari itu hanyalah menyambut.
Kedatangan Wapres Gibran ke Magepanda memang membawa agenda resmi: menyerahkan alat dan mesin pertanian kepada petani. Tapi yang tak tercantum dalam agenda adalah hilangnya jam belajar anak-anak demi seremoni negara. Negara yang datang, tapi lupa mendengar.
Inilah ironi kunjungan pejabat yang terlalu sibuk menjaga citra di atas panggung seremonial. Ketika anak-anak yang seharusnya belajar justru disulap menjadi penjaga barisan, kita tahu ada yang keliru dalam cara negara hadir. Mereka yang paling membutuhkan perhatian justru diposisikan sebagai ornamen, bukan subjek kebijakan.
Gibran barangkali tak tahu bahwa sekolah-sekolah itu sedang menunggu kesempatan berbicara. Atau mungkin tahu, tapi tak diberi waktu. Dalam kultur birokrasi yang gemar menyambut tamu besar dengan barisan tepuk tangan, suara rakyat kerap dikubur di bawah protokol.
Padahal, jika negara benar-benar ingin membangun dari pinggiran, maka langkah pertamanya bukan membagi alsintan, melainkan mendengarkan anak-anak di sekolah pinggiran itu. Duduk bersama mereka. Melihat langsung ruang belajar yang jauh dari kata layak. Dan yang terpenting: tidak menjadikan mereka sekadar properti penyambutan.
Negara semestinya datang untuk memastikan sekolah tidak lagi kekurangan kursi. Bukan untuk membuat siswa berdiri berjam-jam demi menyambut pejabat.