Ada rumor yang beredar bahwa jika PDIP bergabung dengan Gerindra dan mendukung pemerintahan Prabowo, maka Gibran Rakabuming Raka akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Jika rumor ini benar, maka bagi rakyat Indonesia, kabar tersebut adalah angin segar yang patut disambut dengan penuh sukacita. Sebab, kehadiran Gibran di tampuk kekuasaan bukan hanya persoalan politik semata, tetapi juga noda hitam dalam sejarah demokrasi dan konstitusi Indonesia.
Inkonsistensi dan Aib Demokrasi
Gibran Rakabuming Raka bukanlah sosok yang lahir dari kompetisi yang sehat. Ia melenggang ke posisi cawapres bukan karena kapasitas dan rekam jejaknya, tetapi karena rekayasa politik dan penyalahgunaan kekuasaan yang terang-terangan. Proses yang membawanya ke kursi kekuasaan penuh dengan pelanggaran moral dan hukum, terutama putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat batas usia pencalonan dengan cara yang mencolok dan penuh konflik kepentingan. Perubahan aturan yang mendadak dan jelas menguntungkan dirinya menjadi cermin betapa hukum di negeri ini telah diintervensi demi ambisi politik dinasti.
Dalam hal kompetensi, Gibran tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan yang membanggakan. Ia hanya berbekal status sebagai putra Presiden Jokowi dan pengalaman singkat sebagai Wali Kota Solo yang juga dipenuhi dengan privilese politik. Tidak ada capaian monumental yang menunjukkan bahwa ia memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin nasional. Kehadirannya di panggung politik nasional bukan karena prestasi, tetapi karena garis keturunan dan kemudahan akses yang diberikan oleh lingkaran kekuasaan. Ini bukan sekadar kemunduran demokrasi, melainkan penghinaan terhadap sistem meritokrasi dan keadilan sosial.
Cemoohan Dunia Internasional
Dampak dari kehadiran Gibran di posisi strategis negara tidak hanya dirasakan di dalam negeri. Dunia internasional pun mencibir bagaimana Indonesia, yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, justru membiarkan praktik politik dinasti dan manipulasi hukum terjadi secara vulgar. Kredibilitas Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi menjadi dipertanyakan. Fenomena ini mengingatkan dunia bahwa Indonesia belum benar-benar bebas dari oligarki dan praktik nepotisme yang menggerogoti fondasi demokrasi.
Dalam konteks geopolitik dan diplomasi, pemimpin yang tidak memiliki legitimasi kuat akan sulit mendapat pengakuan dan dihormati dalam pergaulan internasional. Indonesia akan dilihat sebagai negara yang mengakomodasi kepentingan segelintir elite ketimbang kepentingan rakyatnya. Hal ini tentu saja berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional dan kerja sama global.
Harapan untuk Masa Depan
Jika benar Gibran akan mengundurkan diri, maka itu adalah langkah yang seharusnya diambil sejak awal. Keputusan itu akan menjadi momentum bagi bangsa ini untuk kembali menata ulang prinsip demokrasi yang telah tercoreng. Namun, pengunduran dirinya saja tidak cukup. Indonesia harus memastikan bahwa praktik politik dinasti tidak lagi mendapat tempat dalam sistem pemerintahan. Reformasi hukum, penguatan independensi lembaga yudikatif, dan penegakan prinsip demokrasi harus menjadi prioritas agar kasus serupa tidak terulang.
Pada akhirnya, bangsa ini harus belajar dari pengalaman pahit ini. Demokrasi bukan sekadar prosedural, tetapi juga substansial. Pemimpin harus lahir dari kompetensi, kapasitas, dan integritas, bukan dari privilese dan rekayasa politik. Jika Gibran benar-benar mundur, maka itu bukan hanya kemenangan rakyat, tetapi juga sebuah langkah kecil menuju pemulihan demokrasi yang lebih sehat dan berdaulat.