Karena Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim Maka pada tanggal 25 Oktober 2016 lalu Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris menjadi UU No 16 Tahun 2016
Jakarta – Fusilatnews – Greenpeace Indonesia menilai kebijakan pemerintah terkait Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedia Tenaga Listrik. mengabaikan Commitment Paris Agreement
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menegaskan kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia terlihat mengabaikan target yang disetujui oleh para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Seharusmya dunia tidak lagi pro terhadap industri batu bara yang jelas berdampak buruk terhadap iklim,” kata Bondan, Rabu, 15 Mei 2024.
Pasal 3 Ayat 4 Perpres tersebut menyatakan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tidak dilarang selama berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, serta untuk mendukung industri.
Larangan pun tidak berlaku untuk PLTU yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) yang bisa menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekonomi nasional.
Isi beleid itu dianggap bertentangan dengan target emisi yang dikejar paling lambat hingga paruh kedua abad ini.
Sesuai Paris Agreement 2015, negara-negara berupaya melepas ketergantungan terhadap energi kotor yang menyumbang emisi dan pemanasan suhu global.
Menurut Bondan kebijakan itu melenceng dari komitmen pengurangan emisi karbon. Pemerintah Indonesia masih membiarkan pembangunan PLTU yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh berbagai negara. Saat ini PLTU lokal masih menyokong industri nikel, aluminium, dan material sejenisnya
“Kalau (PLTU) untuk industri diperbolehkan, maka pendirian PLTU-PLTU atau tambang batu bara lainnya bakal semakin masif,” ujar Bondan.
Bondan menegaskan, Greenpeace Indonesia sedang mendorong skema transisi energi yang lebih ramah untuk iklim.
Organisasi sipil pembela lingkungan ini juga mengkampanyekan penolakan terhadap ekspansi bisnis tambang yang dianggap merusak bumi.
“Sudah banyak kajian-kajian yang kami rilis untuk rekomendasi mengurangi emisi karbon ini,” tuturnya
Perlu diketahui Komitmen Kesepakatan yang lahir dalam Konferensi Tingkat Tinggi COP21 di Paris itu berisi kerangka kolaborasi untuk menahan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat Celcius.
Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim.
Perjanjian ini diadopsi oleh 196 Pihak pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris, Perancis, pada tanggal 12 Desember 2015. Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016.
Tujuan utamanya adalah untuk menjaga “peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri” dan mengupayakan “untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.”
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin dunia telah menekankan perlunya membatasi pemanasan global hingga 1,5°C pada akhir abad ini.
Hal ini karena Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB menunjukkan bahwa melampaui ambang batas 1,5°C berisiko menimbulkan dampak perubahan iklim yang jauh lebih parah, termasuk kekeringan yang lebih sering dan parah, gelombang panas, dan curah hujan.
Untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, emisi gas rumah kaca harus mencapai puncaknya paling lambat sebelum tahun 2025 dan menurun sebesar 43% pada tahun 2030.
Perjanjian Paris merupakan tonggak penting dalam proses perubahan iklim multilateral karena, untuk pertama kalinya, perjanjian yang mengikat menyatukan semua negara untuk memerangi perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya.
Karena Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim Maka pada tanggal 25 Oktober 2016 lalu Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris menjadi UU No 16 Tahun 2016