Damai Hari Lubis-Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Integritas KPK kembali dipertaruhkan dalam perlawanan hukum yang diajukan oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Melalui praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, citra KPK berpotensi semakin terpuruk. Lembaga antirasuah ini kerap dituding menjalankan politik “praktis dan pragmatis” di bawah tekanan kepentingan tertentu.
Hari ini, 13 Februari 2025, Hakim Tunggal Djuyamto dijadwalkan membacakan putusan praperadilan yang diajukan Hasto. Jika melihat dinamika yang terjadi, kemungkinan besar putusan akan menghapus status tersangka Hasto dengan berbagai dalil hukum. Ini semakin diperkuat oleh kelemahan-kelemahan yang justru terang-terangan dipertontonkan oleh penyidik KPK, antara lain:
- Ketidakkonsistenan KPK dalam Kasus Harun Masiku
KPK sempat sesumbar akan menangkap buron Harun Masiku dalam waktu tujuh hari sejak Juni 2024. Namun, hingga kini Harun tak kunjung ditemukan. Ini menimbulkan asumsi bahwa KPK sangat bergantung pada pengakuan BAP dari Harun. Dalam perspektif hukum KUHAP, Harun harus hadir memberikan kesaksian di hadapan Majelis Hakim agar proses hukum terhadap Hasto bisa berjalan dengan sah. - Langkah Hukum yang Terburu-Buru dan Tidak Matang
KPK terlihat panik dengan memanggil saksi-saksi tambahan dan menggeledah rumah Hasto serta sejumlah eks petinggi PPP. Namun, upaya ini justru berujung blunder karena beberapa saksi yang dipanggil, termasuk Wahyu Setiawan, sudah memberikan kesaksiannya dalam perkara yang telah inkracht. Dalam putusan sebelumnya, dinyatakan bahwa Hasto tidak memiliki keterlibatan dalam kasus gratifikasi yang melibatkan Harun Masiku. Artinya, KPK hanya mengulang fakta yang sudah tertutup oleh putusan berkekuatan hukum tetap. - Manuver KPK yang Terlihat Bermuatan Politik
KPK terus memaksakan penetapan tersangka terhadap Hasto, seolah-olah hanya untuk mengalihkan perhatian publik dari berbagai isu besar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa KPK bukan lagi institusi hukum yang independen, melainkan lebih mirip alat politik yang digunakan untuk menekan lawan-lawan tertentu. Jika benar demikian, ini adalah bentuk pelanggaran hukum yang serius, di mana KPK mencoba membatalkan putusan inkracht melalui penetapan tersangka baru tanpa dasar hukum yang sah.
Sikap KPK yang demikian mencerminkan “big legal leak,” sebuah tindakan yang sangat memalukan di mata para pakar hukum dan masyarakat umum. Seharusnya, sebagai lembaga yang dihuni para ahli pidana, KPK bertindak berdasarkan prinsip hukum yang kuat, bukan seperti pemain teater politik yang hanya mengikuti skenario tertentu.
Dalam sidang praperadilan ini, seluruh saksi dan ahli yang dihadirkan justru menguatkan posisi Hasto sebagai pemohon. Bahkan, ahli dari KPK sendiri menyampaikan keterangan yang objektif dan tidak membantah kemungkinan diterbitkannya SP3 untuk Hasto. Dengan demikian, putusan praperadilan ini sangat mungkin berujung pada kemenangan Hasto, yang akan memaksa KPK untuk mengeluarkan SP3 terhadapnya.
Sejarah hukum mungkin akan mencatat tanggal 13 Februari ini sebagai pukulan telak bagi KPK. Jika Hasto menang, kredibilitas KPK akan semakin hancur, dan citranya sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang independen akan semakin diragukan. Ini juga bisa menjadi momentum politik besar, terutama dengan dinamika terbaru seperti kaus “Adili Jokowi” yang dikenakan oleh Kaesang. Tak menutup kemungkinan, gelombang ketidakpercayaan publik terhadap KPK akan berujung pada tsunami politik yang dimulai dari perlawanan “Banteng” yang kini mulai mengincar kembali kekuasaan di Istana.