Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Hasto Kristiyanto untuk diperiksa sebagai tersangka, Senin (13/1/2025) nanti. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu diprediksi akan langsung ditahan, setelah Senin (6/1/2025) lalu mangkir dari panggilan pertama.
Tak lama lagi, politikus asal Yogyakarta itu akan disidangkan di pengadilan. Hasto pun bersiap naik panggung.
KPK, Selasa (24/12/2024) lalu menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam dua perkara sekaligus yang semuanya terkait Harun Masiku.
Pertama, sebagai tersangka suap yang bersama Harun Masiku menyuap Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 agar Harun diloloskan sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) Nazaruddin Kiemas, calon anggota legislatif DPR RI terpilih dari PDIP di Pemilu 2019 yang meninggal dunia.
Kedua, sebagai tersangka “obstruction of justice” (perintangan penyidikan) dalam upaya KPK menangkap Harun Masiku yang sejak 8 Januari 2020 buron hingga kini.
Hasto pun sudah menyiapkan panggung untuk dirinya. Bekas anggota DPR RI ini sudah menyiapkan pleidoi atau nota pembelaan yang akan ia bacakan di sidang pengadilan nanti.
Tak main-main, Hasto menyiapkan pleidoinya itu dalam tujuh bahasa. Entah apa maksudnya. Apa ia ingin dipandang sebagai orang hebat? Atau hanya untuk gagah-gagahan?
Sebab, dibacakan dalam seribu bahasa sekalipun, substansinya tetap sama. Yang berbeda hanya bahasanya. Salah-salah malah bisa merugikan diri sendiri dan pengadilan, karena durasi waktunya akan lebih panjang. Apalagi majelis hakim belum tentu paham dengan bahasa selain Indonesia. Ada aturan, dalam acara-acara resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Apakah itu untuk konsumsi media-media asing? Bukankah awak media-media asing yang bertugas di Indonesia sudah dibekali dengan kemampuan berbahasa Indonesia?
Dalam beberapa kesempatan, Hasto mencoba mengidentifikasi dirinya sebagai Bung Karno. Paling tidak ia mengaku sebagai muridnya Bung Karno. Sebab itu, ia mengaku tidak takut masuk penjara, sebagaimana Proklamator RI dan Presiden I RI itu, karena sudah menjadi risiko perjuangan.
Hasto merasa menjadi korban balas dendam politik dan kriminalisasi hukum oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Lantas, pleidoi Hasto dalam tujuh bahasa itu akan diberi judul apa? Apakah “Hasto Menggugat” atau “PDIP Menggugat”?
Atau “Indonesia Menggugat”, sebagaimana judul pleidoi Bung Karno saat diadili di Bandung, Jawa Barat, tahun 1930?
Ya, “Indonesia Menggugat” adalah judul nota pembelaan yang dibacakan oleh Soekarno pada persidangan di Landraad, kini Pengadilan Negeri, Bandung, tahun 1930.
Soekarno bersama tiga rekannya, yakni Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.
Jadi, jelas berbeda musababnya antara dulu Bung Karno dipenjara dan nanti andaikata Hasto dipenjara. Bung Karno disangka makar, Hasto disangka korupsi.
Yang Bung Karno bela dan perjuangkan adalah nasib bangsa Indonesia. Sementara yang Hasto bela dan perjuangkan adalah nasib Harun Masiku. Bak langit dan bumi.
Seperti Anas Urbaningrum
Usai ditetapkan KPK sebagai tersangka, melalui kuasa hukumnya dan juga sahabatnya, Connie Rahakundini Bakrie, Hasto mengancam akan membongkar skandal dugaan korupsi Jokowi dan keluarganya, termasuk Ibu Iriana.
Hasto merasa penetapannya sebagai tersangka “berkat” cawe-cawe Jokowi kepada KPK setelah dirinya banyak mengkritik wong Solo itu dan keluarganya, dan juga setelah Jokowi bersama anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution dipecat dari keanggotaan PDIP yang diumumkan Senin (16/12/2024) lalu, karena ketiganya dianggap melanggar disiplin partai serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDIP.
Dugaan korupsi Jokowi dan keluarganya itu sudah Hasto videokan dan akan segera dirilis ke publik, dan juga sudah ada di dokumen-dokumen rahasia yang Hasto titipkan kepada Connie untuk disimpan di Rusia.
Namun hingga dua rumah kediamannya di Bekasi, Jawa Barat, dan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, digeledah KPK, Selasa (7/1/2024), Hasto tak kunjung membongkar dugaan korupsi keluarga Jokowi.
Apakah hal itu akan dilakukan Hasto saat membacakan pleidoi di pengadilan nanti yang sudah ia siapkan dalam tujuh bahasa?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Jokowi perlu pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi serangan Hasto.
Yang jelas pula, apa yang diancamkan Hasto kepada Jokowi mengingatkan kita akan ancaman Anas Urbaningrum kepada Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tahun 2013 lalu, Anas yang saat itu masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat ditetapkan KPK sebagai tersangka gratifikasi kasus Hambalang yang juga melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, Ketua DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng, dan anggota DPR RI dari Partai Demokrat Angelina Sondakh.
Seperti Hasto kepada Jokowi, Anas pun merasa dikriminalisasi oleh SBY yang saat itu menjabat Presiden RI dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Musababnya, saat melakukan kunjungan kerja keluar negeri, dari negeri asing itu SBY mengeluarkan pernyataan yang meminta KPK untuk mengambil kesimpulan yang konklusif terkait status Anas dalam kasus Hambalang.
KPK akhirnya menetapkan Anas sebagai tersangka. Bekas Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI itu pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.
Nah, dalam pidato pengunduran diri itulah Anas menyampaikan semacam ancaman kepada SBY. Anas merasa penetapannya sebagai tersangka akibat kriminalisasi.
Pun, akibat adanya sikut-sikutan di internal partainya. “Ini baru lembaran pertama dari buku pertama. Akan ada lembaran-lembaran berikutnya,” kata Anas saat itu.
Anas merasa sebagai bukan sosok yang dikehendaki SBY dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2009. SBY menghendaki sosok lain.
Apalagi saat Demokrat melakukan pertandingan sepakbola persahabatan melawan Koordinatoriat Wartawan DPR RI di Senayan, Jakarta, Anas mengenakan kaus dengan nomor punggung 14.
Hal itu ditafsirkan bahwa bekas Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini hendak maju sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2014, sesuatu yang tentu saja tidak dikehendaki SBY.
Apalagi masuknya Anas ke Demokrat tahun 2005 sebagai semacam balas budi SBY, karena saat menjabat Komisioner KPU, Anas dianggap berjasa dalam kemenangan SBY di Pilpres 2004.
Namun, hingga SBY lengser pada 20 Oktober 2014, bahkan hingga kini setelah Anas bebas dari penjara, bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu tak kunjung mewujudkan ancamannya membongkar aib SBY dan keluarganya.
Apakah Hasto Kristiyanto pun akan seperti Anas Urbaningrum yang hanya pandai menggertak saja?
Akankah Jokowi lolos dari ancaman Hasto, sebagaimana SBY lolos dari ancaman Anas?
Kita tunggu saja tanggal mainnya!