Ketika seorang anggota DPR RI, Ahmad Sahroni, menyebut bahwa gagasan membubarkan DPR adalah “setolol-tolol rakyat se dunia,” pernyataan itu tidak hanya menyinggung nalar publik, melainkan juga menunjukkan ketidakpahaman mendasar terhadap hakikat kedaulatan rakyat dalam teori politik. Ungkapan semacam ini berangkat dari perspektif yang menempatkan parlemen seolah-olah sebagai entitas absolut yang tidak tersentuh oleh kehendak rakyat. Padahal, dalam ilmu politik, tidak ada satu pun lembaga negara yang memiliki legitimasi abadi selain rakyat itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran politik, rakyat bukan sekadar pemilih lima tahunan yang menyerahkan nasibnya pada parlemen. Rakyat adalah pemilik constituent power—kekuasaan asli dan tertinggi—yang bisa menciptakan, mengubah, bahkan membubarkan lembaga yang dibentuknya, termasuk DPR. Di titik inilah konsep extra-parlementer menemukan relevansinya: bahwa rakyat dapat bertindak di luar hukum formal karena hukum dan institusi hanyalah produk derivatif dari kedaulatan rakyat, bukan sebaliknya.
Dalam teori politik klasik maupun kontemporer, kedaulatan rakyat merupakan sumber legitimasi tertinggi dari seluruh bangunan negara. Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contrat Social menyebut bahwa kedaulatan itu inheren pada rakyat dan tidak dapat dialihkan secara permanen kepada lembaga manapun. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif hanyalah instrumen delegasi. Mereka bekerja dalam bingkai aturan yang dibuat atas dasar mandat rakyat. Namun, rakyat itu sendiri sebagai pemilik kedaulatan tidak dibatasi oleh hukum formal ketika mengekspresikan kehendaknya.
Teori Kedaulatan
Jean Bodin dalam Six Livres de la République memaknai kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang absolut dan permanen dalam suatu negara. Namun, teori kedaulatan Bodin masih menekankan pada figur monarki sebagai pusat kekuasaan. Berbeda dengan Rousseau yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati, sehingga legitimasi semua institusi negara bergantung pada penerimaan rakyat.
Hans Kelsen, melalui Pure Theory of Law, menekankan bahwa negara dan hukum adalah sistem normatif yang hierarkis. Tetapi ia sendiri menyadari bahwa di luar hierarki hukum terdapat “Grundnorm” atau norma dasar yang bersumber dari penerimaan kolektif masyarakat. Dengan kata lain, dalam keadaan tertentu, kekuatan rakyat dapat bertindak extra-parlementer melampaui prosedur hukum formal, karena ia merupakan basis terakhir dari “norma dasar”.
Extra-Parlementer Sebagai Instrumen Politik
Istilah extra-parlementer mengacu pada tindakan politik rakyat yang berada di luar mekanisme kelembagaan resmi negara. Hal ini dapat berupa demonstrasi besar, gerakan sosial, revolusi, atau tekanan massa yang mampu menjatuhkan rezim maupun mengubah arah konstitusi.
Dalam konteks ini, extra-parlementer adalah bentuk manifestasi sovereign power rakyat yang tidak dibatasi hukum, berbeda dengan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang justru dibatasi oleh hukum agar tidak menyalahgunakan wewenang. Lembaga-lembaga negara adalah aktor dalam rule of law, sementara rakyat sebagai pemilik kedaulatan adalah aktor dalam rule of legitimacy.
Sejarah modern menunjukkan bagaimana kekuatan extra-parlementer menumbangkan kekuasaan yang mapan:
- Revolusi Prancis (1789), rakyat menggulingkan monarki absolut meski tanpa dasar hukum konstitusional.
- Reformasi Indonesia (1998), rakyat melalui demonstrasi mahasiswa dan tekanan publik memaksa Presiden Soeharto turun meski konstitusi saat itu tidak memberikan jalan legal bagi pengunduran diri akibat krisis legitimasi.
- Arab Spring (2011), gerakan massa mengguncang rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat mampu beroperasi di luar hukum formal, namun tetap diakui sah karena ia bersandar pada prinsip legitimasi.
Batasan Lembaga Formal
Legislatif hanya dapat membuat undang-undang dalam bingkai konstitusi. Eksekutif menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum. Yudikatif menegakkan hukum dan keadilan sesuai aturan yang berlaku. Ketiganya adalah pilar negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Namun, ketika hukum formal dibajak atau dimanipulasi oleh elit, rakyat memiliki hak untuk menarik kembali kedaulatannya. Inilah mengapa dalam ilmu politik dikenal istilah constituent power (kekuasaan konstituen) yang berada di atas constituted power (kekuasaan yang dibentuk). Constituent power adalah kekuatan rakyat sebagai pemilik asli kedaulatan yang berhak mengubah atau membubarkan institusi politik yang tidak lagi mencerminkan kehendaknya.
Penutup
Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum formal, sebab hukum itu sendiri lahir dari mandat rakyat. Lembaga negara—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—terikat aturan hukum, tetapi rakyat sebagai pemilik constituent power memiliki hak untuk bertindak extra-parlementer. Ia bisa menurunkan presiden, membubarkan DPR/MPR, bahkan mengubah sistem politik itu sendiri. Dalam filsafat politik, hal ini bukan pelanggaran hukum, melainkan wujud tertinggi dari legitimasi politik.























