Dalam Al-Qur’an, kisah Iblis yang menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam membawa pelajaran penting tentang kesombongan yang lahir dari klaim kelebihan nasab atau asal-usul. Iblis dengan angkuhnya berkata, “Aku lebih baik darinya (Adam); Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia dari tanah” (Al-A’raf: 12). Penolakan ini didasari oleh rasa superioritas atas asal penciptaannya, bukan karena pertimbangan amal atau ketaatan. Kesombongan ini menjadi pelajaran mendalam bagi manusia, terutama terkait dengan kontroversi nasab dalam masyarakat kita saat ini, termasuk di kalangan kelompok yang mengklaim keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Iblis dan Kesombongan atas Nasab
Ketika Allah menciptakan Adam dan memerintahkan malaikat serta Iblis untuk sujud sebagai bentuk penghormatan, Iblis menolak dengan alasan bahwa ia diciptakan dari api yang dianggapnya lebih mulia daripada tanah yang menjadi asal penciptaan Adam. Kesombongan Iblis didasarkan pada unsur penciptaan, yang tidak lain adalah bentuk dari “nasab” atau asal-usulnya. Penolakan Iblis menggambarkan bagaimana merasa lebih baik karena asal-usul tanpa memperhatikan kualitas amal adalah kesalahan besar.
Dalam konteks ini, nasab, yang dimaknai sebagai silsilah keturunan atau asal-usul, menjadi salah satu hal yang harus kita renungkan. Apakah keistimewaan seseorang di mata Tuhan benar-benar ditentukan oleh nasab atau oleh amal perbuatannya? Iblis, meski berasal dari makhluk yang diciptakan dari api, akhirnya terkutuk karena kesombongannya. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan atas nasab tanpa disertai dengan amal yang baik tidak ada nilainya di hadapan Allah.
Kontroversi Nasab di Kalangan Habaib
Dalam beberapa waktu terakhir, isu nasab menjadi topik yang hangat diperbincangkan, terutama di kalangan Habaib—kelompok yang mengklaim keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Klaim ini membawa implikasi bahwa mereka memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki sosial-keagamaan dibandingkan dengan Muslim lainnya. Namun, pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: Apakah nasab saja cukup untuk menilai keutamaan seseorang?
Islam secara tegas menjawab persoalan ini. Nasab bukanlah tolok ukur keimanan atau kedekatan seseorang dengan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula” (Al-Zalzalah: 7-8). Ayat ini menegaskan bahwa yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti adalah amal perbuatan, bukan nasab.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan hal ini dalam sebuah hadits yang sangat kuat: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” Ini adalah pengingat bahwa hukum dan keadilan Allah tidak memandang nasab atau kedudukan keluarga, melainkan amal dan perbuatan.
Nasab Nabi Muhammad SAW: Sebuah Pengingat
Fakta sejarah menunjukkan bahwa nasab Nabi Muhammad SAW berasal dari keluarga yang belum memeluk Islam pada awalnya. Keluarga besar Nabi, terutama di garis ayah, termasuk dalam suku Quraisy yang pada awalnya menentang dakwah Islam. Ini menunjukkan bahwa nasab Nabi berasal dari komunitas yang dalam beberapa fase sejarahnya belum mengikuti ajaran tauhid. Namun, hal ini tidak mengurangi kemuliaan Nabi, karena kemuliaannya tidak didasarkan pada nasab, melainkan pada ketakwaan, akhlak, dan kepemimpinannya yang luar biasa.
Jika Nabi Muhammad SAW, manusia paling mulia, tidak membanggakan nasabnya, maka siapa kita untuk melakukannya? Pengakuan beberapa Habaib yang menyandarkan kemuliaan mereka pada status keturunan justru bisa menjauhkan mereka dari umat yang lebih menghargai amal dan integritas. Lebih buruk lagi, ada segelintir Habaib yang terjebak dalam tindakan memperjualbelikan agama, menjual nasab sebagai komoditas untuk mendapatkan pengagum atau bahkan kepentingan materi. Mereka menyalahgunakan klaim keturunan Nabi untuk menipu umat yang awam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Nabi yang sangat mementingkan keadilan, akhlak mulia, dan tanggung jawab di hadapan Allah.
Kembali pada Prinsip Amal dan Pertanggungjawaban
Pada akhirnya, setiap individu, baik itu dari kalangan Habaib maupun orang biasa, akan dihakimi di hadapan Allah bukan karena nasab atau asal-usulnya, melainkan karena amal-amal yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Kontroversi tentang nasab tidak boleh menutupi esensi ajaran Islam yang menekankan pentingnya amal, ketakwaan, dan keadilan.
Sebagaimana yang diingatkan dalam Al-Qur’an, “Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (An-Najm: 39). Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang oleh setiap Muslim, terlepas dari klaim nasab. Mereka yang benar-benar mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW harus mencontoh akhlak beliau yang selalu menekankan pentingnya amal dan pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Kesimpulan
Kesombongan Iblis yang membanggakan nasabnya adalah pelajaran penting bagi kita semua. Islam tidak mengenal kasta atau hierarki berdasarkan nasab. Apa yang penting adalah amal perbuatan kita dan sejauh mana kita menjalankan ajaran agama dengan benar. Pengakuan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah keistimewaan yang menjamin kedekatan dengan Allah, melainkan tanggung jawab besar untuk menjaga keadilan, integritas, dan akhlak mulia.
Pada akhirnya, setiap orang akan diadili oleh Allah berdasarkan amal mereka, bukan karena nasab atau asal-usulnya. Oleh karena itu, kita harus selalu ingat bahwa dalam Islam, nasab bukanlah ukuran kemuliaan. Yang penting adalah bagaimana kita menjalani hidup kita sesuai dengan ajaran agama dan amal kebaikan yang kita lakukan.