OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Kehebatan Bulog (Badan Urusan Logistik) yang selama ini berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau sering juga disebut Perusahaan Plat Merah dapat diartikan sebagai kemampuannya dalam menjaga ketersediaan dan stabilitas harga pangan Indonesia. BULOG juga berperan dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Sebagai BUMN yang bertanggung jawab atas pengadaan dan distribusi bahan pangan pokok, Bulog memegang peranan strategis yang harus terus diperkuat dan dioptimalkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Dibebaskannya Bulog dari status BUMN merupakan langkah cerdas untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga dan pasokan pangan yang lebih senafas dengan suasana kekinian.
Beberapa indikator kehebatan Bulog antara lain: ketersediaan pangan yang stabil dan merata; harga pangan yang terjangkau dan stabil; pengurangan kemiskinan dan kelaparan; peningkatan kualitas hidup masyarakat; efisiensi dan efektifitas pengelolaan logistik;
peningkatan produksi dan produktivitas pertanian; pengembangan infrastruktur logistik dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Mendukung pencapaian swasembada pangan yang dalam Pemerintahan Presiden Prabowo dijadikan program unggulan, Pemerintah kembali akan melakukan transformasi kelembagaan Perum Bulog dari BUMN menjadi lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden. Prosesnya masih berjalan dibawah koordinasi Kemenko bidang Pangan.
Seiring dengan proses transformasi kelembagaan pangan ini, Badan Pangan Nasional sebagai regulator pangan telah menugaskan Perum Bulog selaku operator pangan, untuk melaksanakan penyerapan gabah hasil panen petani dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini Perkabadan No. 2/2025 yang dijadikan dasar hukumnya. Salah satunya, HPP Gabah di petani sebesar Rp.6500,- per kilogram.
Penyerapan gabah petani dalam suasana produksi beras yang menurun, jelas akan sangat berbeda dibandingkan dengan suasana produksi beras yang berlimpah. Dalam satu tahun terakhir, produksi beras nasional mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional tahun 2024 lebih rendah produksinya ketimbang produksi tahun 2023.
Selain itu, jumlah surplus beras dalam tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan cukup terukur. Disebut surplus beras, sekiranya produksi yang dihasilkan lebih tinggi dari pada konsumsi masyarakatnya. Kalau kebalikannya yang terjadi, disebut defisit. Artinya, konsumsi masyarakat lebih besar dari produksi beras yang dihasilkan petani di dalam negeri.
Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya, ditengah produksi beras yang terbatas, diprediksi bakal melahirkan persaingan cukup ketat diantara para pelaku bisnis gabah di lapangan. Bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha, juga akan berjuang keras guna menyerap gabah petani untuk kepentingan bisnisnya.
Catatan kritisnya adalah apakah Perum Bulog siap menghadapi persaingan untuk memperoleh gabah dengan pelaku bisnis lain di perdesaan. Berpengalaman sebagai Perusahaan Umum (Perum) selama 21 tahun, mestinya Perum Bulog akan mampu berkompetisi secara sehat dengan para bandar dan tengkulak dalam berburu gabah petani.
Masalah bisa muncul, manakala panen raya berbarengan dengan musim hujan. Panen padi di musim hujan, cenderung akan melahirkan problem turunannya. Sebagai gambaran, tentu kita masih ingat saat Pemerintah menggelindingkan.program Raskin di awal tahun 2000an. Banyak keluhan penerima manfaat yang kecewa berat dan mempersoalkan beras yang ditebusnya.
Ada yang protes karena berasnya bau apek. Ada juga yang menebus beras berwarna kekuning-kuningan. Ada juga beras berkutu dan lain sebagainya. Selidik punya selidik, ternyata yang jadi akar masalahnya, karena gabah yang diserap Bulog umumnya gabah yang berkadat air tinggi, mengingat panennya berlangsung saat musim hujan tiba.
Begitu pun dengan kondisi yang terjadi saat ini, jika panen raya bersamaan dengan musim hujan. Padahal, kalau Pemerintah mau menyiapkan teknologi pengeringan gabah yang sederhana dan diberikan kepada petani, boleh jadi soal panen di musim hujan, bukanlah masalah yang perlu ditakuti. Petani sudah punya solusinya.
Fenomena anjloknya harga gabah beberapa hari menjelang penerapan peraturan HPP Gabah dan Beras baru diberlakukan, betul-betul menarik untuk didalami lebih lanjut. Dua hari menjelang pemberlakuan HPP gabah, terekam harga gabah di Sumatera Selatan berada di angka Rp. 5400,- per kg. Angka ini jelas lebih rendah ketimbang harga HPP gabah yang ada, baik yang berjalan sekarang atau yang akan diberlakukan nanti.
Sebagai operator pangan yang memiliki tugas khusus menyerap gabah sebanyak-banyaknya, baik dengan langsung bertemu petaninya, atau pun membeli dari pelaku bisnis lain di masyarakat, Perum Bulog tentu telah memiliki “jurus ampuh” untuk menggarapnya. Perum Bulog juga mempunyai jejaring luas dengan para pemangku kepentingan laonnua.
Semoga jadi percik permenungan kita bersama. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).