Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) mengkritik penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung terhadap Direktur Pemberitaan Jak TV dan dua advokat karena dituduh menghalangi penyidikan (obstruction of justice) pada kasus korupsi timah dan importasi gula.
“Sebab, penetapan tersangka atas tiga orang tersebut sebagaimana disampaikan oleh Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar adalah terkait tindakan permufakatan jahat advokat MS, JS dan jurnalis Jak TV TB untuk mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah, penanganan korupsi di PT Pertamina, dan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama tersangka Tom Lembong, dengan biaya Rp478.500.000,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Permufakatan jahat itu berupa pembuatan berita-berita yang berisi konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung, membuat narasi-narasi positif bagi tim advokat MS dan JS, membuat metodologi perhitungan kerugian keuangan, membiayai demontrasi- demontrasi, membuat narasi-narasi yang menyudutkan dan menarasikan negatif tentang Kejaksaan Agung, membiayai dan menyelenggarakan kegiatan seminar- seminar, Podcast dan Talkshow di beberapa media online, kemudian diliput serta disiarkan melalui Jak TV, akun-akun resmi Jak TV, termasuk di media sosial Tiktok, Youtube.
Sugeng melihat penetapan tersangka terhadap jurnalis Jak TV TB adalah tindakan sewenang-wenang, bertentangan dengan hukum yang semestinya diberlakulan dan terkesan menebar ancaman/intimidasi pada kerja jurnalistik dengan menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman kebebasan berekspresi.
“Padahal, kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum,” jelasnya.
Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers, kata Sugeng, menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 ayat 1) dan menjamin pers nasional dalam melaksanakan 10 peranannya meliputi (a) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; (c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (Pasal 6).
“Pada intinya, kebebasan pers ini sesuai dengan amanat kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin (vide bagian menimbang huruf a UU Pers),” paparnya.
Pasal 28 tersebut, lanjut Sugeng, kini dipertegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Oleh karena itu, Sugeng menilai kebebasan berpendapat, berekspresi serta kebebasan akademik tidak bisa dipidana dan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi.
Pasal 22 ayat (3) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kata Sugeng, menjamin setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
“Kebebasan atas hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang melekat secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari, sehingga pengingkaran terhadap hak ini berarti mengingkari martabat kemanusiaan,” cetusnya.
Ia menilai bila merujuk pada ketentuan Pasal 8 UU Pers yang memberikan perlindungan kepada jurnalis untuk melaksanakan profesinya meliputi mencari, memperoleh, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat, sehingga produk jurnalis tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
“Sebab, pers Indonesia menganut prinsip bebas dan bertanggung jawab, yang berarti jurnalis memiliki kebebasan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Maka setiap jurnalis yang menjalankan profesinya sesuai UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Peraturan Dewan Pers diberikan perlindungan atas tuntutan pidana. Hal ini sebagaimana tertuang dengan jelas dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers, sehingga setiap karya jurnalistik tidak dapat dikenakan sanksi pidana, dalam rangka menjamin kebebasan pers,” tukasnya
Apabila karya dan/atau produk jurnalistik yang disampaikan oleh pers memuat informasi yang tidak akurat dan berimbang, masih kata Sugeng, pihak yang mengalami kerugian dapat menyampaikan keberatannya melalui proses pengaduan ke Dewan Pers.
“Pengambilan keputusan atas kasus pers melalui mekanisme pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/PeraturanDP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers. Artinya, tidak boleh langsung menangkap insan pers, tapi harus melalui mekanisme Dewan Pers. Hal ini sejalan dengan UU Pers,” terangnya.
Dari ketentuan-ketentuan yang ada, menurut Sugeng, pemberitaan Jak TV adalah wujud penyampaian pendapat yang dilindungi dalam konstitusi dan merupakan hak asasi manusia yang perlindungannya tertuang di beberapa peraturan perundang-undangan. “Sehingga tindakan Kejagung mentersangkakan, menangkap dan menpersoalkan secara hukum Jak TV adalah wujud pelanggaran konstitusi dan hak asasi manusia,” sesalnya.
“Perlu diingatkan bahwa memiliki pandangan hukum yang berbeda atas kinerja penegak hukum atas suatu permasalahan hukum yang diwujudkan dengan membuat pendapat tertulis atau lisan berdasarkan ukuran- ukuran akademik yang disampaikan dalam forum diskusi, seminar, podcast dan dipublikasikan melalui media mainstream maupun media sosial tidak boleh dinilai sebagai delik apalagi dianggap menghalangi penyidikan karena menyampaikan pendapat keilmuan yang berbeda adalah kewajiban keilmuan dan sebagai hak yang dilindungi oleh hukum,” urainya.
“Narasi narasi negatif harus dinilai sebagai kritik atas kinerja Kejagung karena Indonesia adalah negara demokrasi yang membuka lebar perbedaan pendapat,” tandasnya.