Jakarta – Jurnalis senior Karyudi Sutajah Putra (KSP) menilai Kejaksaan Agung ambigu dalam menetapkan jurnalis yang juga Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB) sebagai tersangka obstruction of justice (perintangan penyidikan) perkara suap vonis lepas terdakwa korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga korporasi, kasus korupsi di PT Timah Tbk, dan kasus impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai terdakwa.
Semula, kata KSP, dalam jumpa pers Selasa (22/4/2025) dini hari, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menyatakan, perintangan penyidikan yang dilakukan TB terkait narasi-narasi dan berita-berita negatif dalam pemberitaan yang ia buat di Jak TV dan media online afiliasinya, serta media online lain dan media sosial yang menyudutkan Kejagung terkait penanganan perkara dimaksud baik dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Kejagung menyebut TB menerima uang sebesar Rp478 juta.
“Padahal narasi dan konten berita itu bukan urusan Kejagung, melainkan urusan Dewan Pers sesuai amanat Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers,” jelas KSP yang juga analis politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Belakangan, kata KSP, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, Selasa (22/4/2025) siang menyatakan pihaknya tak mempersoalkan pemberitaan Jak TV. Namun, pihaknya menemukan adanya tindak pidana permufakatan jahat hingga rekayasa fakta, diduga untuk merintangi Kejagung dalam penyidikan kasus CPO, PT Timah, dan kasus impor gula.
“Kejagung ambigu. Mana yang benar?” tanya KSP yang juga calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019-2024.
Selain TB, Kejagung juga menetapkan dua orang advokat sebagai tersangka dalam kasus yang sama, yakni Marcella Santoso (MS), dan Junaedi Saibih (JS).
Mestinya, kata KSP, jika yang dipersoalkan adalah narasi dan berita negatif yang menyudutkan Kejagung, Korps Adhyaksa itu berkonsultasi dan berkoordinasi dulu dengan Dewan Pers sebelum menetapkan TB sebagai tersangka.
“Sayangnya, Kejagung main hantam kromo saja dengan langsung menetapkan TB sebagai tersangka. Belakangan baru Kejagung menyatakan tidak mempersoalkan pemberitaan yang dibuat TB. Yang dipersoalkan adalah permufakatan jahat TB dengan dua pengacara itu. Ini kan semacam fait accompli,” sesal KSP.
Kalau konten berita bisa dijadikan alasan Kejagung menetapkan tersangka perintangan penyidikan, KSP khawatir hal itu akan dijadikan preseden untuk membungkam pers yang bersuara kritis. “Ini bisa jadi preseden yang mengancam kebebasan pers. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers punya hak untuk mengontrol kekuasaan,” cetusnya.
Preseden adalah keputusan atau tindakan masa lalu yang dapat dijadikan contoh atau aturan untuk kasus atau tindakan serupa di masa depan. Dalam konteks hukum, preseden adalah keputusan pengadilan yang menjadi pedoman untuk kasus serupa di kemudian hari, atau dengan kata lain yurisprudensi. “Jangan jadikan kasus jurnalis Jak TV ini sebagai preseden untuk membungkam pers,” pinta KSP.
Belakangan, Kejagung dan Dewan Pers sepakat berbagi peran. Kejagung menangani unsur pidananya, sementara Dewan Pers menangani unsur etiknya. “Kalau ada jurnalis menerima suap, jelas itu melanggar kode etik jurnalistik sekaligus pidana. Tapi konten berita belum tentu melanggar kode etik jurnalistik. Jadi, Dewan Pers pun akan menangani dugaan pelanggaran kode etik dalam dua unsur, yakni unsur konten beritanya apakah berimbang dan cover both side, dan unsur perilaku jurnalisnya apakah independen dan profesional atau tidak. Tapi jika TB terbukti menerima order pembuatan berita, jelas itu tidak independen dan tidak profesional,” tukas KSP yang merupakan jurnalis dengan kompetensi sebagai wartawan utama versi Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Apalagi, kata KSP, sudah ada nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri, di mana jika ada sengketa produk jurnalistik maka akan terlebih dulu dibawa ke Dewan Pers untuk penyelesaiannya dengan mengacu UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang merupakan lex specialis atau aturan khusus.
“Lex specialis derogat legi generalis, atau aturan khusus (lex specialis) mengesampingkan aturan umum (lex generalis). Ini berarti jika ada hukum khusus yang mengatur suatu hal dan juga ada hukum umum yang mengatur hal yang sama, maka hukum khusus tersebut yang akan berlaku dan mengesampingkan hukum umum,” papar KSP yang juga mantan Tenaga Ahli DPR RI.
“Kalau berita yang memojokkan suatu institusi, katakanlah Kejagung, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa ditafsirkan sendiri oleh masing-masing institusi penegak hukum itu sebagai perintangan penyidikan, maka akan banyak terjadi kriminalisasi terhadap wartawan. Akibatnya, kebebasan pers terancam. Pers dibungkam,” tandasnya sambil menambahkan mendukung proses hukum yang sedang dijalankan Kejagung dengan catatan transparan dan akuntabel, serta mendukung proses etik yang sedang berjalan di Dewan Pers.