Amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pencapaian tujuan ini masih jauh dari harapan. Setidaknya ada tiga faktor fundamental yang seharusnya menopang upaya mencerdaskan bangsa: kesehatan, makanan bergizi, dan pendidikan. Sayangnya, ketiga aspek ini masih terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kesehatan: Kemewahan yang Tak Terjangkau
Kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Namun, dalam kenyataannya, akses terhadap layanan kesehatan yang layak masih menjadi tantangan besar bagi mayoritas rakyat Indonesia. Biaya pengobatan yang semakin mahal, keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, serta layanan BPJS yang kerap mengalami kendala teknis dan administratif menjadi gambaran betapa sistem kesehatan nasional masih jauh dari ideal. Kesehatan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menciptakan generasi yang cerdas dan produktif, kini justru menjadi beban berat bagi masyarakat.
Makanan Bergizi: Indikator Buruknya Kesejahteraan
Buruknya gizi anak-anak bangsa menjadi salah satu indikator kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Rencana Prabowo untuk menjalankan program makan gratis bergizi bagi anak-anak sekolah sebenarnya merupakan pengakuan tersirat atas kegagalan pemerintah dalam memastikan kesejahteraan gizi masyarakat. Program ini lahir dari realitas bahwa banyak anak Indonesia masih mengalami kekurangan gizi, bahkan di beberapa daerah, angka stunting masih tinggi. Ironisnya, program ini justru mengindikasikan bahwa akses terhadap makanan bergizi bukanlah sesuatu yang mudah bagi masyarakat Indonesia, melainkan kemewahan yang harus disediakan secara khusus oleh pemerintah.
Pendidikan: Masih Barang Mewah
Janji kampanye Prabowo untuk menggratiskan pendidikan hingga kini masih menjadi wacana tanpa kejelasan realisasi. Faktanya, pendidikan masih menjadi barang mahal yang sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat. Biaya sekolah yang tinggi, akses yang terbatas di daerah terpencil, serta minimnya kualitas tenaga pendidik semakin memperlebar kesenjangan pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikan gratis seharusnya tidak hanya menjadi janji politik, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata yang memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas.
Paradox APBN 2025: Efisiensi vs Kenyataan Anggaran
Pemangkasan anggaran dalam APBN 2025 menjadi tantangan besar bagi realisasi program-program strategis, terutama dalam sektor kesehatan, gizi, dan pendidikan. Di satu sisi, pemerintah mengusung konsep efisiensi anggaran, namun di sisi lain, alokasi dana untuk sektor fundamental justru mengalami pengurangan. Sementara itu, pembengkakan anggaran akibat kabinet yang gemuk serta tingginya biaya operasional pejabat semakin memperlihatkan ketimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi retorika tanpa implementasi.
Kesimpulan
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar amanat konstitusi, tetapi merupakan tanggung jawab moral pemerintah untuk memastikan bahwa rakyatnya memiliki akses yang layak terhadap kesehatan, makanan bergizi, dan pendidikan. Sayangnya, realitas yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa ketiga aspek tersebut masih jauh dari harapan. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini, maka cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang cerdas, sehat, dan sejahtera akan semakin sulit diwujudkan.