Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, FusilatNews – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2024, Alexander Marwata dkk dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada 1 Juli 2024 lalu menjelaskan bahwa KPK telah gagal memberantas korupsi akibat mandulnya fungsi koordinasi, monitoring dan supervisi terhadap lembaga penegak hukum lain (polisi dan jaksa) sudah berlangsung 10 tahun di era Presiden Joko Widodo.
Alexander Marwata dkk menggambarkan betapa KPK berada dalam carut-marut atau anomali manajemen, sehingga untuk sekadar komunikasi antara sesama pimpinan lembaga penegak hukum saja sudah tidak jalan gegara ego sektoral dan struktural, akibatnya KPK kehilangan “independensi”, karena posisinya bergeser dan berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif lewat revisi Undang-Undang (UU) KPK (dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019).
“Kondisi ini membuka ruang intervensi kekuasaan secara melawan hukum tak terhindarkan,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Akibatnya, kata Petrus, terjadi loyalitas ganda di kalangan penyidik, karena penyidik KPK kebanyakan berasal dari institusi Polri dan Kejaksaan Agung, sehingga loyalitas penyidik KPK lebih berat kepada pimpinan institusi asalnya, ketimbang kepada Pimpinan KPK itu sendiri.
Praperadilan Penyemangat KPK
Saat ini KPK tengah menyidik dugaan korupsi suap dan perintangan penyidikan terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam kasus suap Harun Masiku, dan pada saat yang sama KPK digugat praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan oleh Hasto terkait tidak sahnya penetapan tersangka dirinya.
“Gugatan praperadilan Hasto Kristiyanto menggambarkan betapa kenerja penyidik KPK yang menangani perkaranya tidak profesional dan amburadul. KUHAP ditabrak, Hukum Acara Pidana di dalam UU Tipikor dan UU KPK dilanggar, sehingga menggambarkan banyak pihak akan jadi korban kriminalisasi lewat KPK,’ jelas Petrus.
Oleh karena itu, ia meminta Hakim Tunggal Djuyamto yang menyidangkan praperadilan Hasto harus memahami betul kondisi di mana manajemen penyidikan KPK saat ini tengah mengalami kehancuran secara sistemik, terlebih pasca-revisi UU KPK.
“Dalam keadaan di mana manajemen penyidikan KPK carut-marut dan/atau anomali akibat kerusakan sistemik yang dihadapi oleh semua institusi penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan), instrumen pengawasan internal dan eksternal yang mandul, sementara penyidik KPK didominasi oleh anggota Kepolisian dan Kejaksaan yang juga mengalami kehancuran, maka lembaga praperadilan PN Jaksel sangat diharapkan peran strategis, obyektif dan netralitasnya dalam melihat sepak terjang KPK demi memenuhi rasa keadilan pencari keadilan, sesuai amanat Pasal 77 dan Pasal 78 KUHAP dan kewenangan lain yang diperluas sesuai Putusan MK (Mahkamah Konstitusi),” jelasnya.
“Akan sangat berbahaya jika praperadilan membiarkan KPK melanjutkan penyidikan terhadap perkara Hasto Kristiyanto sampai pemeriksaan di pengadilan, berarti KPK tengah mempersiapkan jebakan bagi banyak pihak, terutama para saksi yang itu-itu juga untuk bersaksi palsu dan/atau sumpah palsu kelak demi mengejar ambisi politik pihak lain,” lanjutnya.
Menurut Petrus, harus diingat bahwa yang diperiksa adalah saksi-saksi yang sudah terikat dengan kesaksiannya dalam perkara bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, bekas anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio, dan Saeful Bahri, sementara ada saksi mengungkap bahwa KPK membujuk agar mereka mengarang keterangan baru demi menjerat Hasto.
“Ini jelas tidak profesional sekaligus merusak prinsip kepastian hukum terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara yang satu dan sama pada waktu sebelumnya. Selain itu, hakim-hakim Pengadilan Tipikor akan diperhadapkan pada situasi memakan buah simalakama, karena akankah hakim mentolerir berkas perkara Hasto yang sudah pasti sama dan sebangun dengan bukti-bukti lain terdahulu yang tidak membuktikan keterlibatan Hasto, atau pun akankah hakim keluar dari pakem putusan terdahulu berdasarkan keterangan berbeda dari alat bukti lain, sehingga membuat hakim dalam situasi dilematis?” tanya Petrus.
“Kita bisa bayangkan ambisi pihak-pihak tertentu untuk memengaruhi hakim dalam memutus praperadilan Hasto lewat hasil jajak pendapat atau polling lembaga survei, dan berharap dijadikan barang bukti untuk menjerat Hasto lewat putusan praperadilan,” tambahnya.
Oleh karena itu, lanjut Petrus, Hakim Tunggal PN Jaksel Djuyamto harus menjaga netralitasnya, harus menjadi penentu sekaligus menjadikan permohonan praperadilan Hasto sebagai momentum untuk membenahi, mengoreksi manajemen penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK yang saat ini sudah rusak satu dan lain guna mencegah korban-korban kriminalisasi berjatuhan di tangan KPK yang diduga sudah jauh rusaknya sama dan sebangun dengan Polri dan Kejaksaan saat ini.