Oleh: Damai Hari Lubis-Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
(Amicus Curiae: Hakim Praperadilan PN Jaksel wajib bersikap mandiri. Jika bertindak tidak adil, ia akan berdosa karena mencederai cita-cita hukum dan fungsi hukum, yang berakibat pada ketidakpastian hukum, melukai psikologis Pemohon serta keluarganya, dan mengkhianati keadilan yang diharapkan masyarakat.)
Hakim Tunggal Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, yang menangani perkara dengan register nomor 5/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel, memiliki kewajiban untuk bersikap objektif dan mandiri. Ia tidak boleh berpihak atau menerima intervensi dari pihak eksternal maupun internal yudikatif, termasuk dari subjek hukum mana pun, tanpa memandang jabatan atau kedudukannya. Prinsip independensi ini sesuai dengan sistem hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Nomor 48 Tahun 2009) juncto KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Terkait dengan pendapat hukum (amicus curiae) yang setara dengan legal opinion dalam kapasitas sebagai friends of the court, pelaksanaan proses peradilan yang sedang berlangsung (aquo in casu) telah mendapat perhatian dari pakar hukum yang justru dihadirkan oleh pihak Termohon, yaitu KPK. Kredibilitas seorang pakar hukum mutlak diperlukan karena keterangannya mengandung pertanggungjawaban moral. Oleh karena itu, objektivitas harus dijunjung tinggi, sebagaimana asas profesionalisme dan proporsionalitas yang menjadi standar dalam sistem peradilan. Dengan demikian, keputusan hakim praperadilan harus terjamin akuntabilitasnya karena harus berbasis pada ilmu pengetahuan hukum yang bersifat ilmiah, serta berlandaskan kejujuran, profesionalisme, dan ketidakberpihakan.
Jika terjadi keberpihakan dalam peradilan, konsekuensinya adalah terciptanya ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya merugikan Pemohon serta keluarganya. Lebih luas lagi, hal ini juga mencederai rasa keadilan masyarakat.
Temuan dan Kelemahan Hukum dalam Kasus Prapid
Berdasarkan analisis terhadap keterangan ahli yang dihadirkan oleh KPK, ditemukan beberapa cacat hukum dalam proses penetapan status tersangka (TSK) terhadap Hasto Kristiyanto. Berikut adalah poin-poin utama yang menguntungkan Pemohon:
A. Pemeriksaan Relevansi Alat Bukti di Praperadilan
- Ahli Azmi Syahputra menegaskan bahwa dalam praperadilan, relevansi alat bukti dapat diuji.
- Ahli Taufik Rachman berpendapat bahwa relevansi alat bukti hanya dapat dinilai dalam pokok perkara, namun ia juga mengakui bahwa ini adalah kelemahan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.
- Dengan demikian, produk penetapan TSK terhadap Hasto Kristiyanto oleh KPK belum dapat dinyatakan sah menurut hukum.
B. Perolehan Alat Bukti yang Tidak Sah
- Kedua ahli sepakat bahwa tidak boleh ada tekanan atau intimidasi dalam pemeriksaan saksi.
- Aparat penegak hukum harus memperkenalkan diri sebelum melakukan pemanggilan, penggeledahan, atau penyitaan.
- KPK diduga telah merampas ponsel asisten dan ponsel Pemohon tanpa prosedur yang sah, yang menunjukkan praktik penegakan hukum yang tidak etis.
C. Obstruction of Justice
- Jika barang bukti yang terkait dengan tindak pidana tidak rusak dan berada dalam penguasaan penyidik, maka unsur obstruction of justice tidak terpenuhi.
- Ahli menilai bahwa insiden di PTIK bukan merupakan obstruction of justice.
- Nomor Sprindik obstruction of justice (No. 152) dikeluarkan sebelum Sprindik tindak pidana suap (No. 153), yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.
- Dengan demikian, tidak ada unsur obstruction of justice yang dilakukan oleh Hasto Kristiyanto.
D. Bukti Permulaan yang Cukup
- Alat bukti harus dikumpulkan terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
- Fakta menunjukkan bahwa KPK masih mencari alat bukti setelah menetapkan status TSK, yang berarti penetapan tersebut prematur dan tidak sah.
E. Kedudukan SOP KPK
- SOP KPK bukanlah regulasi setingkat Peraturan Kejaksaan (PERJA), Peraturan Kapolri (PERKAPOLRI), atau Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
- SOP KPK bersifat internal dan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung, berbeda dengan regulasi lain yang lebih kuat secara hukum.
- Hakim Djuyamto diharapkan dapat membedakan antara kasus murni korupsi dan kasus gratifikasi yang dipolitisasi.
Kesimpulan
Sebagai amicus curiae, penulis menekankan bahwa hakim tunggal praperadilan memiliki wewenang untuk mempertimbangkan eksepsi terhadap tindakan KPK yang tidak beritikad baik dalam menetapkan status tersangka. Tindakan KPK yang tidak sesuai prosedur menunjukkan bahwa penetapan status tersangka terhadap Hasto Kristiyanto prematur dan tidak sah secara hukum. Oleh karena itu, hakim tunggal praperadilan harus memutuskan perkara ini dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, objektivitas, dan profesionalisme demi menjaga integritas sistem hukum di Indonesia.