Di kampus kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), integritas dan kejujuran adalah dua hal yang sejak lama dijunjung tinggi. Di sanalah semangat keilmuan dibangun bukan sekadar untuk mengejar gelar, tapi untuk membentuk karakter dan keberanian moral. Namun, pekan ini, nilai-nilai itu diuji, bukan oleh lawan dari luar, melainkan oleh seorang tokoh yang mengaku berasal dari rahimnya sendiri.
Joko Widodo, yang selama ini mengklaim sebagai alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980, belakangan melaporkan tiga orang yang dikenal luas sebagai alumni sah kampus yang sama. Ketiganya adalah figur publik dengan latar belakang akademik yang tak diragukan: Dr. Roy Suryo, pakar telematika dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga; Dr. Rismon Hasiholan Sianipar, dosen dan peneliti kehutanan; serta dr. Tifa, dokter dan aktivis kemanusiaan yang dikenal vokal dalam isu-isu demokrasi dan hak sipil.
Laporan itu terkait dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi bohong mengenai latar belakang pendidikan Jokowi. Namun, langkah ini kontan menimbulkan reaksi publik. Bukan semata karena substansi tuduhan, tetapi karena ironinya begitu telanjang: seseorang yang keabsahan ijazahnya dipertanyakan justru melaporkan mereka yang tak diragukan silsilah akademiknya. Di mata publik, ini bukan semata adu data, melainkan pergulatan antara simbol kekuasaan dan keberanian menyuarakan pertanyaan yang selama ini ditutup-tutupi.
Isu soal keaslian ijazah Jokowi bukan barang baru. Desas-desus itu berembus sejak ia mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014, dan makin menguat pasca-2022, saat sejumlah pihak mulai menyuarakan keraguannya secara terbuka. Namun, hingga hari ini, alih-alih membuka data otentik secara transparan, yang muncul justru sikap membungkam—baik melalui pelaporan hukum maupun penyangkalan sepihak dari institusi terkait.
UGM sendiri beberapa kali menyatakan bahwa Jokowi adalah alumnus mereka. Namun pernyataan itu kerap tanpa disertai dokumen konkret seperti ijazah, foto wisuda, atau daftar yudisium yang bisa diverifikasi publik. Ketiadaan transparansi inilah yang kemudian menimbulkan ruang spekulasi. Dalam ruang itu, lahirlah keberanian tokoh-tokoh seperti Dr. Roy Suryo, Dr. Rismon Sianipar, dan dr. Tifa—tiga alumni UGM yang angkat bicara karena merasa ada yang janggal dari pengakuan sang presiden.
Roy Suryo walau tidak satu angkatan dengan Jokowi, tak pernah melihat di dokumentasi albumnya di kampus selama masa perkuliahan. “Saya cari di album, tak ada. Di daftar yudisium juga tak pernah lihat,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik. Dr. Rismon turut mendukung keterbukaan data, sementara dr. Tifa berulang kali menyuarakan pentingnya transparansi dalam demokrasi, termasuk soal latar belakang pemimpin negara.
Pelaporan ini bisa dibaca sebagai bentuk ketidaknyamanan terhadap suara-suara sumbang yang mempertanyakan narasi resmi kekuasaan. Di era demokrasi yang sehat, kritik harus dijawab dengan klarifikasi, bukan kriminalisasi. Apalagi ketika kritik itu datang dari orang-orang yang punya legitimasi moral dan intelektual di hadapan publik.
Yang lebih menyakitkan adalah efek psikologisnya terhadap kampus UGM itu sendiri. Ketika alumnus yang sah dilaporkan oleh seseorang yang ditengarai menyandang status palsu, maka yang tercoreng bukan hanya nama individu, tapi nama almamater itu sendiri. Kampus seakan tak mampu melindungi integritasnya, dan diam menyaksikan alumni-alumni kritis dibungkam oleh kekuasaan.
UGM, dalam posisi ini, seperti dipaksa bungkam oleh narasi resmi negara. Padahal, dalam sejarahnya, UGM bukan kampus yang bisa ditundukkan hanya oleh tekanan kekuasaan. Ia melahirkan banyak pemimpin, tapi juga banyak pemberontak moral. Mereka yang lebih memilih jalan kebenaran ketimbang kekuasaan.
Tiga alumnus sah UGM yang kini dipolisikan telah menunjukkan bahwa suara kritis tak harus selalu datang dari oposisi politik. Kadang, ia justru muncul dari sesama keluarga besar yang merasa ada nilai yang sedang dikorbankan. Mereka tak menyuarakan kebencian, melainkan mempertanyakan integritas.
Dan yang dipertanyakan bukan sembarang hal—tapi soal kejujuran dasar yang jadi fondasi dari seluruh bangunan demokrasi: apakah benar seseorang itu menempuh pendidikan sesuai yang diklaimnya?
Pertanyaan itu sederhana. Tapi jawabannya menentukan wajah republik ini ke depan. Jika pertanyaan semacam itu saja dibungkam dengan pelaporan pidana, maka apa yang tersisa dari semangat akademik, kebebasan berpikir, dan integritas kampus?
Di Bulaksumur, nama baik bukanlah sesuatu yang bisa diklaim. Ia harus dibuktikan.