Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Sarjana Pendidikan UNS
Jakarta – Ketika harga cabai menampar pedas, Presiden Joko Widodo menyarankan rakyat menanam cabai sendiri. Pejabat lainnya menyarankan masyarakat tidak usah makan sambal.
Ketika harga beras melonjak keras, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyarankan masyarakat tidak harus makan nasi, tapi bisa makan sagu, gandum, umbi-umbian, dan sejenisnya. Perlu diversifikasi pangan, kata mereka.
Pejabat-pejabat lain pun senada, seperti Menteri Pertanian saat itu Syahrul Yasin Limpo, dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Ketika pemerintah mendapat ktitikan keras dari masyarakat, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mempersilakan para pengkritik itu hengkang dari Indonesia.
Kini, ketika biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri meroket tinggi, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Tjitjik Tjahjandarie menyatakan pendidikan tinggi itu sifatnya tersier, sehingga masyarakat tidak wajib kuliah.
Pernyataan Ibu Tjitjik itu untuk merespons kritik terkait melambungnya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri.
Mungkin Ibu Tjitjik mewakili bos besarnya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim yang menjadi biang kerok perguruan tinggi berbiaya tinggi. Menteri menjadi biang kerok meroketnya biaya pendidikan, ironis bukan?
Ya, pernyataan Ibu Tjitjik itu bak petir di siang bolong. Dia seperti pejabat lainnya yang tidak punya solusi jitu. Solusi yang dia tawarkan sesungguhnya bukan solusi, karena berimplikasi pada munculnya masalah baru. Dia hanya cari gampangnya saja, seperti pejabat lain pada umumnya.
Menurut Ibu Tjitjik, pendidikan di perguruan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA) yang ingin mendalami lebih lanjut suatu ilmu. Jadi, tegasnya, perguruan tinggi sifatnya hanya pilihan atau tersier, bukan wajib belajar.
Tersier adalah istilah dalam jenjang pendidikan, yakni jenjang Sekolah Dasar (SD) yang disebut sebagai “primary education”, jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan SMA/SMK/MA yang disebut “secondary education”, dan Pendidikan Tinggi yang disebut sebagai “tertiary education”.
Pemerintah berdalih, kewajiban negara menggratiskan biaya pendidikan hanya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal itu berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2), UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2008.
PP itu menyebutkan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan gratis di jenjang SD dan SMP atau wajib belajar 9 tahun. Namun pada 2013, pemerintah memperpanjangnya menjadi wajib belajar 12 tahun (hingga SMA atau sederajat).
Biang Kerok
Pada tahun akademik 2024/2025 ini, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum berlomba-lomba menaikkan biaya Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Besaran kenaikannya mencapai 30 hingga 50 persen. Para mahasiswa dan orangtua pun menjerit. Banyak di antara mereka yang terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah. Atau yang baru masuk urung menjalani kuliah.
Mahasiswa tak berdaya. Hanya protes dan aksi-aksi demonstrasi yang bisa mereka lakukan. Itu pun berisiko. Sebut saja mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar yang mengkritik tingginya kenaikan UKT di media sosial ternyata dipolisikan, meskipun Rektor Unri Prof Dr Sri Indarti akhirnya mencabut laporannya ke polisi itu.
Selain Unri, universitas-universitas lain juga menaikkan IPI dan UKT, antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Pertanian Bogor (IPB),
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Universitas Negeri Malang (UNM), dan Universitas 11 Maret 1966 Surakarta atau UNS.
Diketahui, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kemendikbudristek.
Sebelumnya, Nadiem juga menerbitkan Permendikbud No 25 Tahun 2020 yang dipertegas dengan Keputusan Menteri (Kepmen) No 54 Tahun 2024.
Beleid-beleid itulah yang menjadi pangkal atau biang kerok kenaikan IPI dan UKT di PTN-PTN.
Pihak Kemendikbudristek sendiri, seperti dilansir sejumlah media, mengakui kenaikan biaya UKT disebabkan banyak faktor, terutama hasil “review’ penetapan biaya operasional pendidikan tinggi.
Review yang dilakukan setiap tahun ini memunculkan penetapan SSBOPT, dan dari sana diketahui betapa tingginya biaya operasional pendidikan tinggi di berbagai wilayah di Indonesia.
Besarannya berbeda-beda, tergantung dari Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah, seperti wilayah Jawa, Bali, dan NTB yang memiliki besaran SSBOPT PTN Terakreditasi Prodi Pengalaman Praktik Intensif mencapai Rp70,2 juta per tahun.
Wilayah lain seperti Maluku dan Maluku Utara mulai Rp89 juta sampai Rp97,7 juta per tahun. Bahkan wilayah Papua dan Papua Barat berada di angka tertinggi hingga Rp118 juta per tahun.
Besarnya SSBOPT inilah yang membuat subsidi pendidikan dari pemerintah melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tidak berpengaruh besar. Kemendikbudristek mengklaim, BOPTN hanya mampu menopang biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sebesar 30 persen saja.
Sebenarnya, kalau pemerintah cerdas dan mau mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi, bisa mencari sumber-sumber lain untuk memperbesar subsidi PTN.
Ke depan, anggaran makan siang gratis yang sudah dicanangkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto yang besarannya mencapai Rp450 triliun per tahun bisa dialihkan untuk memperbesar anggaran subsidi pendidikan. Ini tentu akan lebih bermanfaat jangka panjang daripada makan siang gratis.
Bandingkan pula dengan anggaran pendidikan nasional yang tahun 2024 ini “hanya’ sebesar Rp665 triliun.
Alhasil, betapa ironisnya ketika ada pejabat tinggi menyatakan kuliah itu tidak wajib. Bagaimana kita mau mencapai visi Indonesia Emas 2045 ketika pola pikir atau “mindset” para pejabatnya masih seprimitif itu?
Lebih ironis lagi jika melihat fakta bahwa hanya 10,15 persen penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Sementara SMA/sederajat 30,22 persen, SMP/sederajat 22,74 persen, SD/sederajat 24,62 persen, dan tak punya ijazah 12,26 persen.